PRESIDEN KITA
oleh Wimar Witoelar
Selesai sudah pendaftaran peserta. Pasangan JK-Wiranto sudah diumumkan terlebih dahulu, SBY-Budiono dideklarasikan senja malam Sabtu di Bandung, Megawati-Prabowo dilihat orang yang susah tidur malam Sabtu juga beberapa menit sebelum tengah malam. Hari Sabtu semua terdaftar di KPU dan orang siap-siap melakukan pemilihan pada tanggal 9 Juli 2009. Mudah-mudahan selesai hari itu, tapi kalau tidak ada yang mendapat suara lebih dari 50%, maka pemilihan dilanjutkan 21 September 2009 antara dua pasangan teratas, seperti jadwal kejuaraan olahraga. Namanya ‘run-off election’.
capres.jpg
Mudah-mudahan selesai dalam satu putaran, supaya tidak terlalu lama pemerintah mengambang, dan public yang kurang senang nonton politik tidak mengeluh terus. Walaupun saya heran juga kenapa banyak orang mengeluh, padahal tidak ada keharusan untuk nonton politik. Hanya dua channel televisi diantara belasan stasion nasional yang menyiarkan kegiatan politik, lainnya tetap ada untuk penggemar olahraga, komedi, sinetron dan pertunjukan dangdut. Banyak orang beranggapan politik ini brisik, gaduh dan para politisi terlalu ambisius dan ingin menang. Memang betul, politik yang demokratis selalu begitu, apakah di Depok atau Dallas, Logandu atau Los Angeles. Politikus ambisius bukan hanya di Pilpres disini tapi juga di US Elections. Sarah Palin dan Barack Obama sama-sama berjanji dalam kampanye politik. Bedanya, oranG Amerika sudah biasa lihat pemilihan umum, disini belum. Yang sering dikenang adalah Pemilu bohong-bohongan jaman dulu, Makanya Jendral Prabowo mengatakan sekarang ini Pemilu paling jelek dalam sejarah. Dulu dia tidak perlu kampanye, keluar uang banyak, dan hanya menjadi calon wakil presiden.
Ada persamaannya kalau kita ingat dulu acara televise hiburan itu jelas alur ceritanya, dan punya scenario mantap. Sekarang acara yang popular itu reality show, rekam kejadian sebagaimana adanya. Ada orang keluar kamar mandi, ada orang naik mobil ke kantor, ada keluarga bertengkar satu sama lain. Dulu politik itu r apih. Publik tidak tahu siapa bakal calon wapres, gubernur, walikota. Kita duduk saja manis-manis, tahu-tahu kita lihat Presiden berdampingan dengan Wakil Presiden di gedung MPR, anggota DPR muncul dari daftar Golkar yang diperoleh dari Bina Graha.
Yes, it was so much simpler then. Sekarang kita harus mikir, mau percaya calon mana, apa programnya? Istilah dikumandangkan tanpa ada artinya yang jelas. Paling populer sekarang adalah Ekonomi Kerakyatan. Prabowo dipuji oleh bos barunya, Megawati, katanya ahli ekonomi kerakyatan. Apa sih artinya? Budiono dicela sebagai neoliberal. Apa ekonomi kerakyatan apa neoliberal, tidak banyak orang tahu. Tapi walaupun tidak mengerti, banyak sekali orang merasa yakin, ekonomi kerakyatan itu bagus, neoliberal itu jelek. Ada yang menjanjikan pertumbuhan sepuluh persen setahun dengan melaksanakan ekonomi kerakyatan. Padahal orang yang mengerti ekonomi tahu, justru sistim neoliberal yang bisa menciptakan pertumbuhan cepat. Itu yang dilakukan dengan sukses oleh Presiden Suharto di tahun tujuh puluhan. Pertumbuhan ekonomi belasan persen setahun dalam ekonomi neolioberal yang dijalankan oleh Soemitro (ayahnya Prabowo), Wijoyo, Ali Wardhana dan dipelajari mahasiswanya yang sekarang jadi menteri dalam kabinet. Jusuf Kalla bukan ekonom, dia pedagang, jadi tidak menggunakan system, yang penting profit.
Ada lagi yang membingungkan, yaitu pengertian perwakilan umat. Ada mitra koalisi yang marah-marah karena Budiono tidak mewakili umat, katanya. Lalu siapa yang mewakili umat? Rupanya tidak banyak, sebab semua calon ditolak. Perimbangan Jawa-Daerah dipersoalkan. Apa betul itu persoalan? Contoh Sukarno-Hatta dikemukakan sebagai hal yang bagus karena satu dari Jawa, satu dari Sumatra. Padahal itu pasangan yang gagal, terbukti pada tahun 1957 Bung Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, menerbitkan buku ‘Demokrasi Kita’ yang berbeda dengan Demokrasi Terpimpin karangan Sukarno. Presiden Suharto yang menjadi Presiden selama 32 tahun sering punya wakil Presiden orang Jawa, seperti Sultan Hamengku Buwono IX, Sudharmono, Try Sutrisno.
Di pihak lain banyak yang tidak nyaman dengan pasangan JK-Wiranto dan Megawati-Prabowo, karena ada dua nama yang terkait peristiwa berdarah di tahun 1998. Orang-orang tersebut sering disebut sebagai pelaku kekerasan masyarakat, tapi penyelidikannya tidak pernah lancar. Hanya pengadilan internasional yang menuntut keras, tap ditolak dengan alasan kita tidak mau diurus oranga asing, padahal kemerdekaan Indonesia diakui setelah ada intervensi asing. Ya sudah, mereka sudah lolos dari tuntutan hukum, harus dinyatakan punya hak sama. Apalagi mereka lolos ketentuan KPU, punya banyak pengikut, kantor yang mewah dan partai yang kaya. Biarlah semua ikut jadi kontestan Pilpres. Biar suara rakyat menentukan, apa mereka masih diterima atau tidak.
Dalam menanggapi suara yang menghujatnya, Budiono mengatakan sangat wajar bahwa dalam demokrasi yang hidup , ada perbedaan pendapat. Betul sekali. Kalau tidak, menjadi lucu dan seperti demokrasi pura-pura. Suara rakyat menentukan. Saat ini perimbangan dukungan adalah:
JK-Wiranto
* Didukung oleh: Partai Golkar dan Hanura
* Kekuatan suara sah nasional: 18,22%
* Kekuatan kursi di DPR: 22,32%
SBY-Boediono
* Didukung oleh: Partai Demokrat, PAN, PKS, PKB, PPP, PBB, PNBK, PKPI, Republikan, PBR, PKPB, dan parpol kecil lain
* Kekuatan suara sah nasional: 51,72% lebih
* Kekuatan kursi DPR: 56,07%
Mega-Prabowo
* Didukung oleh: PDI Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Buruh
* Kekuatan suara sah nasional: 18,74%
* Kekuatan kursi DPR: 21,6 %
Jumlah suara untuk SBY-Boediono dalam angka-angka tadi lebih dari 50%, cukup untuk menang pada putaran pertama. Tapi kita ingat bahwa lebih dari 30% pemilih tidak memberikan suaranya pada pemilihan legislatif. Kalau sebagian diantara mereka nanti memilih, pasangan mana yang akan mendapat suara tambahan? Ini tidak bisa ditebak, walaupun nanti akan ada polling lagi.
Satu hal yang penting. Kita bukan penonton tapi pemain. Maka tidak perlu kita terlalu pusing dangan angka-angka itu. Kita berikan suara kita masing-masing, karena sebetulnya persoalannya sederhana. Bukan soal istilah, label dan ideologi.
Pertanyaannya hanya satu: Dengan Presiden mana kita akan merasa lebih aman?
Pada siapa kita lebih yakin. Istilah dari analisa adalah tugas orang lain. Tugas pemilih adalah memilih, dan untuk itu yang paling bagus adalah menggunakan keyakinan masing-masing.
Yang dihitung nanti adalah suara anda sendiri=sendiri. Bukan suara DPP Partai atau Dewan Pertimbangan atau Dewan lainnya. Suara anda mahal, dan merupakan alat partisipasi politik yang paling penting.
0 komentar:
Posting Komentar