Recent Videos

Jumat, 29 Oktober 2010

Sultan HB X versus Mbah Maridjan


TEMPO Interaktif, Jakarta - Kakek berusia 83 tahun tersebut ditemukan di rumah dalam keadaan tak bernyawa oleh relawan Tim SAR pada Rabu (27/10) 06.05 WIB. Ia ditemukan di kamar mandi rumahnya dalam keadaan sujud. Dialah Maridjan atau yang lebih dikenal dengan Mbah Maridjan.

Pria yang memiliki enam orang cicit tersebut meninggal saat menjalankan tugasnya sebagai juru kunci Gunung Merapi. Mbah Maridjan dua kali menolak perintah Sultan Hamengku Buwono X untuk mengevakuasi diri dari Desa Kinahrejo.

Penolakan pertama dilakukan Mbah Maridjan pada Mei 2006. Ketika Merapi meletus pada Mei 2006, aparat pemerintah termasuk penguasa Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono, meminta warga Desa Kinahrejo untuk mengungsi. Akan tetapi, Mbah Maridjan malah berdiam di pelataran Srimanganti yang berlokasi di punggung selatan Merapi. Ia pun tak tersentuh awan panas.

Bagi Maridjan, Sultan Hamengku Buwono X adalah pejabat pemerintah yang ucapannya sama dengan pejabat lainnya: meminta penduduk agar segera mengungsi. Karena itu, meski ia seorang abdi dalem, ia tak harus patuh pada Sultan yang kini menjabat Gubernur DIY. Mbah Maridjan mengaku hanya mengindahkan ucapan almarhum Sultan Hamengku Buwono IX, ayah Sultan Hamengku Buwono X, yang mengangkatnya sebagai juru kunci Merapi dengan gelar Raden Ngabehi Suraksohargo 28 tahun lalu.

Sikap tersebut dianggap sebagian orang sebagai pembangkangan Mbah Maridjan karena menolak seruan agar masyarakat di sekitar Merapi mengungsi karena gunung ini sudah ditetapkan berstatus Awas.

Ketika Maridjan secara diam-diam pergi ke pelataran Srimanganti, sempat muncul desas-desus ia dipaksa mengungsi keluar dari Dusun Kinahrejo. Ternyata penduduk tahu kalau Maridjan justru naik ke Gunung Merapi. Akibatnya, dari 19 kepala keluarga atau 84 jiwa warga di Dusun Kinahrejo, tak ada seorang pun yang mengungsi. Anak-anak balita hingga orang tua yang sudah renta memilih bertahan di rumah mereka sembari berdoa mohon perlindungan Tuhan sebagaimana diserukan Maridjan.

Tak terlihat buntalan kain berisi perlengkapan yang siap dibawa mengungsi. Setiap pagi, warga pun masih mencari rumput untuk pakan sapi perah. Siang harinya, mereka masih memerah sapi untuk diambil susunya. Tak ada kekhawatiran apa pun pada warga dukuh ini.

Jika desa-desa lain di sekitar Merapi telah sepi ditinggal penduduk yang mengungsi, kehidupan di Dusun Kinahrejo berjalan normal. Bahkan terlihat lebih ramai oleh banyaknya pendatang, terutama wartawan dan petugas yang hilir-mudik ke Kinahrejo.

Berkat sikap tersebut, nama Mbah Maridjan meroket. Ia pun sempat menjadi bintang iklan produk suplemen.

Penolakan kedua dilakukan tahun ini. Meskipun status Merapi telah naik menjadi Awas, Mbah Maridjan tetap tidak bersedia meninggalkan rumahnya di Dusun Kinahrejo. “Lha saya di sini (di rumah) kerasan. Nanti kalau ada tamu ke sini malah kecele kalau saya pergi,” kata Mbah Maridjan saat ditemui di kediamannya, Senin (25/10).

Bagi Mbah Maridjan, tetap tinggal di rumah lebih aman dan nyaman. Bahkan dengan bertemu para tamu yang silih berganti datang menemuinya untuk meminta nasihat adalah hiburan baginya.

Namun, penolakan yang kedua ini tidak berakhir seperti yang pertama. Ternyata, awan panas atau wedhus gembel menerjang Dusun Kinahrejo. Mbah Maridjan pun tewas disapu wedhus gembel bersama sekitar 29 orang lainnya.

Menanggapi meninggalnya Mbah Maridjan, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bela sungkawa. Meski begitu, Sultan menyesalkan keputusan Mbah Maridjan dan warga yang menjadi korban awan panas yang tak segera meninggalkan lokasi untuk mengungsi.

“Mereka yang enggak mengungsi itu itu punya keyakinan sendiri atau karena kesombongan saya nggak tahu,’’ kata Sultan menjawab pertanyaan wartawan di Kepatihan, Rabu, siang (27/10).

MBM TEMPO| TNR| KODRAT SETIAWAN

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More