Recent Videos

Kartu Lebaran 2012

Minal Aidin Wal faizin, Mohon Maaf lahir Batin, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1433H.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 09 Desember 2010

My Love

Rabu, 03 November 2010

Limbad VS Ponimin

Limbad Vs Ponimin Calon Juru Kunci Gunung Merapi Persaingan Limbad Dan Ponimin Kuncen Merapi Pengganti Mbah Marijan. Melihat perkembangan terakhir status Gunung Merapi yang semakin berbahaya dan awas, tampaknya penentuan siapa juru kunci yang menggantikan mbah Marijan perlu segera ditetapkan. Dari berita terbaru, artis The Master Limbad mencalonkan diri menjadi Juru Kunci Merapi bersaing dengan mbah Ponimin orang sakti calon kuat kuncen merapi. Info menarik sebelumnya Foto Penampakan Awan Mbah Marijan Sosok Awan Panas Mbah Maridjan Ketika Gunung Merapi Meletus mengeluarkan wedhus gembel.

Persaingan Limbad vs mbah Ponimin menarik untuk disimak lebih lanjut ya. Mereka berdua memang identik dengan hal yang berbau mistis dan ghaib. Limbad pesulap terkenal versus Ponimin pemilk mukena ajaib seakan-akan semakin memperkuat kondisi Gunung Merapi yang diselimuti misteri yang berbau cerita mitos.

Benarkah Artis Pesulap Limbad akan menggantikan Mbah Marijan? Atau justru penduduk asli Ponimin yang jadi juru kunci Gunung Merapi? Keputusan memang ada di tangan Keraton Jogja Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tapi masyarakat umum, khususnya masyarakat DIY Yogyakarta Sleman Jawa Tengah, bisa membantu memberikan masukan.

Sebaiknya dibaca dulu artikel berikut ini, supaya kita semua tahu arti penting posisi juru kunci merapi. Baru kemudian memutuskan siapa pemenang antara Limbad vs Ponimin. Supaya mbah Petruk penunggu Gunung Merapi tidak marah terus batuk-batuk lagi.

Arti Penting Sang Juru Kunci Merapi

Eksistensi gunung Merapi bagi masyarakat Yogyakarta tak lepas dari adanya mitos terdapat hubungan khusus antara ‘penunggu’ Merapi dengan lingkungan kraton Yogyakarta. Kondisi ini diperkuat dengan adanya utusan dari keraton Yogyakarta, untuk menjadi juru kunci (kuncen) Merapi.

Juru kunci yang dimaksud adalah Mas Penewu Surakso Hargo atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Maridjan.

Kini, sang kuncen telah tiada sejak ditemukan dalam kondisi meninggal, Rabu (27/10) lalu di salah satu sudut rumahnya yang porak poranda.

Legenda Gunung Merapi telah ditinggalkan sang kuncen yang selama 30 tahun telah menemaninya. Lalu seberapa penting arti juru kunci di gunung teraktif di nusantara ini.

“Itu penting banget, kalau tidak ada juru kunci para pendaki tidak akan mendapat informasi tentang gunung yang didaki. Kuncen biasanya memberi tahu apa yang dilarang, jalur pendakian, penyelamatan dan lain-lain,” kata mantan mahasiswa pencinta alam, Sandi M, yang saat ini menjadi relawan PMI Kabupaten Sleman, saat berbincang dengan detikcom, di posko utama penanggulangan bencana? Merapi di Pakem,
Jalan Kaliuran, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (30/10/2010).

Menurutnya, Mbah Maridjan bertugas menjaga gunung dengan cara menerawang dari pengalaman atau ‘ilmu titen’, dan menggabungkannya dengan firasatnya yang telah terlatih sebagai warga Merapi sejak kecil.

“Kuncen itukan orang yang sejak kecil sudah hidup di lingkungan Gunung Merapi. Jadi, Mbah Maridjan, simbah sudah titen (hafal) soal gejala gunung Merapi,” ujar warga Sleman ini.

Selain memberi petunjuk bagi para pendaki yang ingin mendaki puncak Merapi, tugas Mbah Maridjan yang paling utama adalah memberi informasi kepada penduduk sekitar bila ada aktifitas Merapi yang dirasa membahayakan.

“Kuncen itu selain menjaga gunung juga menjaga masyarakat dilingkungan. Jangan sampai menjadi korban saat Merapi ngamuk. Karena kuncen itu sudah titen betul dengan melihat tanda-tanda yang ada,” kata Sandi.

Kuncen yang merupakan anggota abdi dalem, diangkat langsung kraton Ngayogjokarto Hadiningrat untuk mengemban misi berat tersebut. Mbah Maridjan sendiri diangkat menjadi kuncen oleh Sri Sultan HB IX saat itu.

“Sebagai abdi dalem, Mbah juga pasti melayani keluarga kraton bila ingin melakukan ritual di Merapi. Itu tugas lainnya dari juru kunci,” kata Sandi. detik.com

Selasa, 02 November 2010

Kredo Mbah Maridjan


Oleh A.A. Ariwibowo
Juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan bersujud kepada Yang Maha Pencipta ketika menemui ajal pada Rabu (27/10) seraya berserah diri dan berbekal penuh satu energi dari tirakatan Jawa.
Dia membungkuk dengan tangan, lutut, dan kepala menyentuh tanah sebagai simbol bahwa raga hendak kembali kepada bumi.
Tersapu oleh suhu panas membara dari energi ajaran Jawa, "Aja sira lunga, yen tan weruh ingkang pinaran. Aja sira nganggo, yen tan weruh ingkang dienggo!" (Jangan kamu pergi, jika kamu tak tahu mana tujuanmu. Jangan kamu menyandang, jika kamu tak tahu apa yang kamu sandang!), Mas Penewu Suraksohargo ingin "kembali".
Lahir di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, pada tahun 1927, Mbah Maridjan bersujud dengan raga dan pikirn takzim di hadapan misteri tak berhingga. Ia merebahkan diri sampai seluruh tubuh dan hati menyentuh tanah. "Aku ini abu dan akan kembali menjadi abu".
Abu melambangkan awal dan akhir kehidupan. Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, sarat abu memutih dengan pemandangan daratan luluh lantak diterjang awan panas dari erupsi Gunung Merapi.
Surat-surat kabar pun menulis dengan menggunakan tinta hitam "Indonesia Bersedih" (Harian Kompas), dan "Memilukan...(Media Indonesia). Dan, sebuah stasiun televisi nasional mengajak berdoa kepada seluruh warga Indonesia (Pray for Indonesia).
Puing rumah terhampar dan bangkai hewan terdampar di Dusun Kinahrejo. Suhu awan panas terpapar mencapai 600-1.000 derajat celsius meluncur dari kawah Merapi dengan kecepatan 60 kilometer per jam menyapu dusun dan menewaskan sejumlah orang, termasuk Mbah Maridjan.
Insan bersama flora dan fauna dalam vitalitas Merapi seakan mewartakan bahwa Bumi ini sungguh misteri yang menggetarkan dan menggelorakan. Terjadi semburan abu vulkanik dan kerikil saling menyusul dalam erupsi eksplosif Gunung Merapi, Selasa (26/10) pukul 18.10.
"Erupsi kali ini lebih besar dari tiga erupsi sebelumnya," kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono. Semburan abu vulkanik dan kerikil merupakan ciri erupsi eksplosif gunung berapi.
Fenomen Merapi ini menggenapi kredo bahwa waktu itu maju dan memuncak. Waktu tidak dapat kembali (irreversible).
Merapi yang bergelora, merapi yang digdaya meski kini meminta korban puluhan jiwa seakan menyeret kontemplasi manusia bahwa zaman sudah sampai pada usianya yang tua (zaman wis teka titi wanci tuwa). Manusia terus diburu waktu untuk bersegera memohon jawaban yang serba pasti (maneges).
Sementara, Mbah Maridjan dengan kredonya merespons seluruh alam ciptaan dengan menerima segala kemalangan bahkan kematian tanpa menyalahkan siapa pun, termasuk Tuhan. Manusia tidak layak mengutuk atau mengeluh, karena manusia sejatinya berasal dari abu dan akan kembali menjadi abu.
Budayawan Sindhunata menulis dalam buku Petruk Jadi Raja, bahwa Gunung Merapi bisa memuntahkan api yang menghanguskan dan mematikan manusia. Namun, Gunung Merapi memberi hidup dan rejeki berupa pasir dan tanah subur. Dalam air dan api, ada berkah sekaligus malapetaka.
Kalau manusia mau menerima rejeki yang diberikan oleh air dan api, ia dituntut sanggup hidup dalam resiko karena air dan api. Menolak hidup dalam resiko membuat manusia menjadi pemarah, pengeluh, pengutuk dan tak mau bertanggung jawab. Inilah kredo Mbah Maridjan.
Ketika merespons tentang bencana banjir dan longsor di mana-mana akibat ulah manusia, ia mengatakan, ”Meski diberi sebanyak apa pun, manusia akan merasa kekurangan karena kekurangan itulah kebutuhan manusia”.
Ia menulis dalam jejaring sosial facebook, "Mbah masih merasa kerasan tinggal di Dusun Kinahrejo Cangkringan Sleman Yogyakarta, sambil berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Bagi yg sudah diminta pemerentah untuk mengungsi, mbok ya patuh ya... Mohon dengan sanget."
Saat Gunung Merapi berubah status menjadi awas pada 25 Oktober 2010, Mbah Maridjan pun menolak mengungsi. “Lha saya di sini (di rumah) kerasan. Nanti kalau ada tamu ke sini malah kecele kalau saya pergi,” kata Mbah Maridjan saat ditemui di kediamannya.
Ia memegang teguh tanggungjawab sebagai juru kunci dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando dari beliau untuk mengungsi. Mbah mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1970. Jabatan sebagai juru kunci lalu ia sandang sejak tahun 1982.
Ketika Gunung Merapi meletus pada 2006, imbauan pemerintah daerah dan bujukan aparat keamanan agar Mbah Maridjan turun mengungsi tak dihiraukan. Bahkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X telah mengatakan agar perintah pemerintah dipatuhi.
"Biarpun saya jadi Sultan, saya tunduk kepada keputusan pemerintah," kata Sultan saat Merapi meletus pada April 2006, sebagaimana dikutip dari laman Tempo.Com. Dan Mbah Maridjan menyatakan, "Setiap orang punya tugas sendiri-sendiri. Wartawan, tentara, polisi punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap di sini".
Imbauan yang meneguhkan setiap pengungsi agar mau bertanggungjawab atas hidupnya diutarakan oleh Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta Brigjen Polisi Ondang Sutarsa Budhi.
"Pokoknya kalau diminta turun ya turun sajalah, kondisi darurat dan mendesak, tidak usah memikirkan harta benda ataupun hewan ternak. Yang penting warga itu mematuhi perintah pasti aman," katanya.
Dalam hening bening, dalam mosaik tanggungjawab kepada hidup, Mbah Maridjan bersujud sebagai isyarat hendak berkomunikasi antara raga dan pikiran.
Intipati kredo Mbah Maridjan, "Berhentilah sejenak. Mampirlah minum. Dan rebahkanlah egomu."

Mbah Maridjan, Transformasi "Islam-Jawa"


Mbah Maridjan boleh dibilang salah satu pelaku fenomenal dalam transformasi teologis ”Islam-Jawa”. Kesejarahannya bisa ditarik benang merahnya dengan kesejarahan Wali Sanga.
Hubungan eksistensial Mbah Maridjan dengan Gunung Merapi bisa dirunut dalam proses perubahan kosmologi Jawa sejak zaman kerajaan-kerajaan Jawa sebelum abad ke-10 Masehi. Pada Mataram pertama yang berkedudukan di Yogyakarta sampai Kadiri, Singasari, dan Majapahit di Jawa Timur, secara kosmologis kehidupan itu dibagi dua, yaitu adanya jagat atas dan jagat bawah.
Menurut antropolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, jagat atas adalah tempat para dewa yang digambarkan terletak di atas gunung. Maka banyak gunung, terutama yang aktif, yang dikeramatkan, seperti Merapi, Semeru, Kelud, dan Bromo. Sementara jagat bawah berada di lembah yang ditempati manusia.
Kewajiban manusia adalah menjaga harmonisasi jagat bawah dengan jagat atas. Untuk itulah dibangun tempat-tempat suci dan secara periodik diselenggarakan ritual. Misalnya, keberadaan Candi Prambanan sebagai tempat suci ritual puja terhadap jagat atas di Gunung Merapi. Candi Penataran di Blitar, Jawa Timur, yang dibangun dalam tiga dinasti (Kadiri, Singasari, Majapahit) adalah tempat ritual puja terhadap jagat atas di Gunung Kelud. Candi Jago di Malang, Jawa Timur, untuk tempat puja jagat atas di Gunung Semeru.
Salah satu ritual yang masih lestari sampai sekarang adalah ritual Kasada yang dihelat masyarakat subkultur Tengger di Gunung Bromo.
Sejalan dengan melemahnya pengaruh Hindu, konsep kosmologi Jawa mengalami perubahan di mana konsep jagat atas tempat dewa diganti menjadi tempat ”Sing Mbaureksa” yang artinya yang berkuasa. Konsep sosok ”Sing Mbaureksa” ini tidak begitu jelas. Hanya dipersepsi sebagai ruh atau makhluk gaib, tetapi bukan dewa, bukan jin atau malaikat. Manusia berkewajiban menjaga harmonisasi dengan ”Sing Mbaureksa” tersebut demi keselamatan dan kemaslahatan umat manusia.
Sujud
Dengan diangkat menjadi juru kunci Merapi, keberadaan Mbah Maridjan (83) adalah menjadi ujung tombak atau tokoh kunci terpeliharanya harmonisasi Keraton Yogyakarta (jagat bawah) dengan Merapi (jagat atas).
Bagi Mbah Maridjan, konsep ”Sing Mbaureksa” Merapi adalah Tuhan. Hal itu tecermin dari doa-doanya yang hanya ditujukan kepada Tuhan sebagai Sang Maha Selamat (al-Salam). Jasad Mbah Maridjan yang ditemukan dalam posisi sujud menjadi bukti bahwa dia melakukan ritual secara Islam.
Masalah tempat sujudnya di kamar mandi harus dilihat dalam konteks darurat. Dalam situasi normal, sujud di kamar mandi jelas dilarang Islam.
Tindakannya itu juga membuktikan bahwa dalam situasi yang sangat gawat Mbah Maridjan tetap pasrah kepada Tuhan. Tetap memohon bagi keselamatan rakyat Yogyakarta.
Posisi sujud sekaligus menunjukkan betapa Mbah Maridjan sangat mencintai buminya, Merapi. Dia memegang ajaran Jawa: sedumuk bathuk senyari bumi ditohi pati (sejengkal tanah akan dibela sampai mati).
Posisi itu juga menunjukkan betapa Mbah Maridjan setia dengan amanat yang dipanggulnya menjaga harmonisasi dengan Merapi. Menerima amanat harus dijaga dengan taruhan nyawa. Dia tidak mau tinggal gelanggang colong playu, lari dari tugas dan tanggung jawab.
Pola Mbah Maridjan menjaga Merapi, tidak gegabah kalau dibilang sebagai bentuk transformasi teologis ”Islam-Jawa”, yaitu tatkala dia menggeser pusat kepasrahan, permohonan dan pemujaan dari ”Sing Mbaureksa” kepada Tuhan.
Dia melakukan transformasi itu secara bijaksana untuk menjaga harmonisasi sosial. Dia tetap melakukan upacara adat, tetapi ”ruh” upacara yang berupa doa itu menggunakan ajaran tauhid. Ibaratnya, casing-nya tetap, tetapi isinya yang baru.
Pola ini sealur benang merah dengan pola transformasi teologis ”Islam-Jawa” Wali Sanga. Misalnya, tetap memelihara pelbagai bentuk selamatan tetapi ”ruh”- nya sudah diganti dengan ajaran tauhid.
Sunan Kudus melarang masyarakat menyembelih sapi sebagai cara menjaga harmonisasi dengan umat Hindu. Padahal, kalau cuma berpijak pada syar’i, tindakan Sunan Kudus itu menyimpang karena melarang barang yang halal.
Dengan pola transformasi teologisnya—hasil ijtihadnya— itu, Mbah Maridjan berusaha memelihara agar umat tak terperosok ke dalam syirik. Tradisi Jawa tetap terpelihara, tatanan Keraton tetap dihormati dan dilestarikan, tetapi tak terjadi gejolak sosial. (ANWAR HUDIJONO)

Mbah Maridjan


Bre Redana
Beberapa kali saya bertemu Mbah Maridjan. Jauh sebelum Mbah Maridjan diperlakukan khalayak sebagai ”selebriti” dan kemudian membuat yang bersangkutan cenderung agak menutup diri, saya diperkenalkan kepadanya oleh temanteman seniman. Kami ngobrol gayeng di rumahnya yang sederhana di lereng Merapi. Perbincangan dalam bahasa Jawa.
Masih saya ingat jawabannya, ketika seorang teman bertanya kepadanya: Mbah, kesenian sing apik ki sing piye (kesenian yang bagus itu yang seperti apa)? Tercenung sejenak, dengan gayanya yang khas Mbah Maridjan bilang, ”Kesenian sing apik, ditiru ora iso, dicacat ora cacat.” (Kesenian yang baik, ditiru tidak bisa, dijelekkan tidak menjadi cacat).
Beberapa ungkapan Mbah Maridjan dikenang teman-teman. Rekan wartawan yang dekat dengannya ingat, ketika berkomentar bahwa desa ini resep (nyaman), Mbah Maridjan menukas: ”Resep opo? Senep....” (Nyaman apaan? Senep). Dengan itu Mbah Maridjan hendak mengungkapkan kemiskinan sehari-hari penduduk setempat—yang oleh kacamata luar dipandang asri permai tenteram.
Pada perkembangan selanjutnya, Mbah Maridjan sering muncul di televisi. Posenya terpampang di baliho serta di bis-bis kota di Jakarta sebagai bintang iklan. Terlihat di televisi pula, kediaman Mbah Maridjan tidak seperti dulu ketika saya kenal. Rumahnya mentereng, ubinnya berkilat.
Ketika televisi menayangkan Mbah Maridjan berlari-lari menutup muka menghindari kamera wartawan, selintas saya ingat Putri Diana. Nasib mereka kurang lebih sama. Sama-sama orang sederhana, tiba-tiba harus berada di panggung media massa dengan bahasa yang tak sepenuhnya mereka pahami. Mbah Maridjan tak beda dengan kita semua. Media massa, terlebih kenyataan gadungan televisi, telah membawa orang tercerabut dari realitas.
Dulu, stres Diana yang tak tertanggungkan bisa dilihat dari bahasa tubuh: memainkan kuku-kuku jari, kadang menggigitnya, kepala menunduk, mata melirik. Pada Mbah Maridjan, terlihat dengan gejala menutup diri. Seperti koala yang bisa kaget dengan entakan sekecil apa pun, misalnya bunyi jepretan kamera, begitu kurang lebih Mbah Maridjan. Sontak dia masuk cangkang begitu kamera mengarah kepadanya.
Pada makhluk-makhluk yang sensitif seperti koala, masih ada pihak yang melindungi. Misalnya dengan peraturan ketat: dilarang memotret, sedangkan Mbah Maridjan? Tiap detik privasinya dirambah, tanpa si perambah merasa bersalah. Akibat selanjutnya adalah keterasingan.
Tragedi keterasingan sudah sering diungkap berbagai karya seni dari sastra sampai film. Ujung dari itu semua adalah ”death wish”—kematian hanya sejengkal di depan kehidupan yang tak kita mengerti.
Mbah Maridjan barangkali bisa mengoperasikan kewaskitaannya menghadapi awan panas yang disebutnya ”wedus gembel”. Hidupnya akrab dengan semua gejala alam sehingga awan panas pun disebut mesra wedus gembel, harimau disebut kiaine, dan seterusnya. Namun wedus gembel media massa?
Ketika Julius Caesar ditusuk oleh sahabatnya sendiri, Brutus, sebelum tumbang sang kaisar hanya bisa berucap: ”Et tu? Brute?” (... dan kau, Brutus?).
Kita tidak tahu apa yang kira-kira terungkap dari Mbah Maridjan sebelum ajal menjemput. Adakah ”Et tu? Media?” Sampeankah itu, televisi.... ***

Wasiat Kepemimpinan Maridjan


Oleh M Alfan Alfian

"The leader who is humble rarely allows the power of their position to cloud their judgement". (Leroy McCarty)

KOMPAS.com — Kita berduka karena Mbah Maridjan, sang juru kunci Gunung Merapi, telah diberitakan meninggal dalam posisi bersujud, menyusul letusan gunung berapi paling aktif di Jawa tersebut.

Ucapan dukacita juga layak untuk diucapkan bersamaan dengan meninggalnya korban letusan lainnya, juga korban bencana alam gempa bumi di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, dan sebelumnya musibah banjir bandang di Wasior, Papua Barat. Kita memang sedang menghadapi cobaan berupa bencana alam di mana-mana.

Sebuah pemberitaan media online mengulas meninggalnya Maridjan dengan kalimat yang memungkinkan pembacanya menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan sosok sepuh itu cukup fatal. Memang, pada 2006 Maridjan selamat. Tempat tinggalnya, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, tidak dilewati awan panas atau wedhus gembel, tetapi tidak untuk saat ini. Seorang pakar menjelaskan, letusan kali ini bersifat eksplosif sehingga menyebabkan banyak korban jiwa.

Bagaimanapun, almarhum sangat fenomenal. Sebagai pemimpin informal dalam lingkup terbatas, ia sempat melakukan interupsi bahwa ternyata masih ada pemimpin yang unik sepertinya di Indonesia. Ia hadir di tengah-tengah realitas kepemimpinan formal yang sering menerima kritik tajam.

Mungkin banyak Maridjan lain yang belum terpublikasi di komunitas-komunitas lokal kita yang khas. Maridjan mencoba merepresentasikannya, setidaknya ia tampil jelas sebagai salah satu contoh kasus kepemimpinan informal yang layak diulas.

Tiga teladan
Apa yang dapat kita petik dari kepemimpinan Maridjan? Ada beberapa catatan atas gaya kepemimpinan informalnya yang bersahaja sebagai penjaga Merapi atas legitimasi Keraton Yogyakarta itu.
Pertama, menyangkut integritas dan loyalitasnya. Ia punya integritas dan reputasi yang tak diragukan, tentu dalam ukuran-ukuran tradisionalitas-informal. Adapun Sultan Hamengku Buwono IX mengangkatnya sebagai juru kunci, tentu saja bukan main-main. Dan, Maridjan loyal dengan penunjukannya itu, menjalankan tugas dalam bingkai pengabdian dan sesuai amanat.

Kedua, ia sosok pemimpin sederhana dan bijak. Harap diingat bahwa Maridjan bekerja dalam alam kearifan lokal yang meta-sains dan alam pikir makrokosmos (jagat-gedhe) yang khas Jawa. Ia bukan pakar di bidang kegunungapian, tetapi tampaknya lebih banyak bekerja berdasarkan intuisi dan nalar. Keterangan-keterangan Maridjan pada tahun 2006 atas fenomena alam Merapi demikian sederhana, dengan bumbu-bumbu perumpamaan yang gampang ditelaah orang.

Ia juga mengedepankan suatu etika yang khas, yang harus dihayati menyangkut hubungan antara manusia, gunung berapi, dan Tuhan. Ia sering mengatakan, ojo ndhisiki kerso, jangan mendahului kehendak-Nya. Ini menunjukkan bahwa Maridjan punya disiplin religius tersendiri, dengan berdoa, ikhtiar, dan pasrah.

Ketiga, ia pemimpin yang bertanggung jawab dan berani ambil risiko. Tampaknya, tak ada pretensi agar Maridjan sendiri dicap sebagai teladan. Akan tetapi, ia sering menunjukkan kepada publik bahwa ia punya tanggung jawab, dan atas dasar itu ia berani ambil risiko.
Karena itulah, perilakunya sering cukup kontroversial. Dengan alasan berdoa kepada-Nya, ia justru naik ke puncak, kawasan yang paling berbahaya pada 2006. Dengan alasan yang sama pula, ia tak mau meninggalkan desanya saat sebelum akhirnya ia diberitakan meninggal.

Ia tak menolak pengungsian warga, tetapi ia sendiri tak mau mengungsi. Memang kontradiktif. Karena itu, wajar apabila penilaian publik terbelah ke dalam dua pendapat berseberangan: ia berani ambil risiko atau ia sesungguhnya sosok yang fatalis.

Dua ekstrem
Masih banyak hal yang bisa diulas dari gaya kepemimpinan Maridjan, tetapi tiga hal di atas sudah mencukupi, sebagai wasiat-wasiat yang dapat dicatat dari sosok bintang iklan minuman energi itu.

Setelah Maridjan meninggal, saya sependapat dengan anjuran agar kita lebih serius beralih dari paradigma intuisi ke sains modern. Akan tetapi, saya juga sepakat bahwa sains modern pun dikembangkan tanpa harus mengabaikan kearifan lokal.

Dari sini, seolah-olah memang antara Maridjan dan sains modern adalah dua ekstrem walaupun penjelasannya sering kali selaras dengan argumentasi sains. Intinya, sains dan kearifan lokal harus berdampingan, sedemikian rupa demi kemaslahatan semua.

* M ALFAN ALFIAN, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta; Penulis Buku Menjadi Pemimpin Politik

Minggu, 31 Oktober 2010

Merapi & Keraton Mistik Jawa


Jakarta - Gunung Merapi meletus. Letusannya mengundang banyak tafsir. Di balik itu, Gunung Slamet dan Gunung Dieng di Jawa Tengah berstatus waspada. Juga Gunung Bromo dan Gunung Semeru di Jawa Timur. Tanda apakah gerangan?

Inilah kalkulasi mistik soal itu. Boleh percaya boleh tidak, tapi inilah kepercayaan sebagian masyarakat Jawa. Jika tidak percaya anggap ini bagian dari pengetahuan tentang budaya. Namun kalau percaya, begitulah nenek-moyang manusia Jawa melihat jaman ke depan melalui tanda-tanda. Dalam keyakinan Jawa, tertib jagat sangat penting. Itu dalil aksioma. Alam dan manusia ciptaanNya, dan satu serta yang lain tidak boleh mengganggu, gangguan bersifat destruktif. Sebab jika satu terganggu yang lain krodit. Dan kroditisitas itu bersifat cakramanggilingan. Berlaku asas roda pedati yang berputar. Pengganggu akan terganggu dan kena ganggu.

Dalam menggambarkan tertib dunia itu, manusia Jawa memampangkan melalui sketsa kuasa dan keraton. Keraton ini bisa ditafsir sebagai kerajaan atau negara. Keraton pertama disebut sebagai Keraton Manusia yang diperintah manusia. Keraton kedua adalah Keraton Api yang berupa gunung-gunung berapi. Dan keraton ketiga adalah Keraton Laut yang kekuasaannya di lautan.

Jika Keraton Manusia bisa ditafsir penguasanya sekarang adalah Sultan Hamengkubuwono X atau Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Republik Indonesia yang bisa berganti-ganti, maka Kraton Api justru lebih permanen. Juga sinyal mistik yang ditangkap darinya.

Kraton Api ini dalam keyakinan itu terbagi dalam tiga grade. Grade pertama dipandegani trah Mataram dan trah Majapahit. Trah Mataram itu diidentifikasi manjing (tinggal) di Gunung Merapi. Itu tersurat jelas dalam babad, saat Pajang menyerang Mataram, Panembahan Senopati berbagi tugas dengan Ki Ageng Selo, dan Gunung Merapi meletus membinasakan pasukan Pajang (de Han & de Graff).

Sedang trah Majapahit manjing di Gunung Lawu. Itu bisa dirujuk dari keyakinan mokswa-nya Raja Brawijaya di Alang-Alang Kumitir di Candi Cetho, Jenawi, dan bukti sejarah Candi Sukuh sebagai area ritus sang raja sehabis lengser keprabon dan madeg pandhito. (Turun tahta sebagai raja dan menjadi pendeta).

Kelak ketika Islam kian subur menjamur di Tanah Jawa, maka Gunung Lawu mendapat sebutan baru sebagai areanya Sunan Lawu, yang konotasinya sama, mimikri Brawijaya. Untuk apologia mitos ini, maka dalam serat digambarkan bagaimana prosesi Brawijaya masuk Islam yang tidak disetujui Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Brawijaya. Juga diikuti ancaman 'Sang Raja Demit' ini kelak membinasakan Tanah Jawa di lima ratus tahun sejak Brawijaya jadi mualaf. Padahal sejarah mencatat, Brawijaya wafat dan diperabukan di Candi Brahu.

Grade kedua adalah Keraton Api sekadar sebagai tanda. Gunung yang berfungsi seperti ini adalah Gunung Slamet yang bertindak sebagai tetenger (tanda) adanya kebaikan. Gunung Dieng sebagai tetenger nikmatnya mereka yang melakukan kebaikan yang disimbolisasikan dengan Istana Kahyangan. Dan Gunung Bromo sebagai tetenger penggembira. Amuk akan tambah njegadrah (berkobar-kobar) jika Gunung Merapi meletus diikuti dengan letusan Gunung Bromo. Kalau ini terjadi, maka dalam keyakinan Jawa ada kemungkinan suksesi di Tanah Jawa terrealisasi.

Sedang grade ketiga adalah Kraton Api sebagai kekuatan konstruktif, pinandito, dan gunung sepuh (tua). Gunung yang masuk kategori ini adalah Gunung Kelud yang berada di wilayah Kediri dan Blitar. Gunung ini diyakini sebagai manjing Raja Jayabaya yang akan datang di akhir jaman yang dijemput senopati Tunggul Wulung.

Nama ini acap dikaitkan dengan Kristenisasi di daerah Mojowarno. Tokoh asal Pati sebagai cikal-bakal Kristen Jawi Wetan itu menyebut dirinya Kiai Tunggul Wulung yang kelak ‘melahirkan’ Kiai Sadrach (1835) yang mengamalkan sinkretisme Kristen. Dia merasa terdapat kemiripan antara Nabi Isa dan Raja Jayabaya, serta melakukan dakwah itu setelah turun dari bertapa di Gunung Kelud (van Akkeren).

Gunung lain yang masuk klasifikisai gunung tua adalah Semeru. Gunung ini simbol kearifan, kesaktian, dan peredam gejolak amarah. Gunung Semeru diyakini tempat bertapanya Semar. Tokoh wayang ini merupakan personifikasi orang Jawa yang sempurna. Berwatak rendah hati, sederhana, ikhlas menerima suratan miskin, hidup di desa, tapi punya kewaskitaan dan kesaktian luar biasa. Ini senjata pamungkas kalau sewaktu-waktu dinista dan dizalimi penguasa.

Sedang Kraton Laut diperintah perempuan dengan nama bervariasi tetapi satu. Ada yang menyebut Dewi Lanjar, Nyi Ratu Kidul, Nyi Roro Kidul, atau Nyi Loro Kidul. Dalam mitos tokoh ini dekat dengan Mataram. Konon pernah bertemu dengan Panembahan Senopati di Parang Kusumo, pernah sua dengan Sunan Kalijogo di Gua Langse, dan bercinta dengan Sultan Agung sambil mengitari dunia.

Namun itu semua hanyalah simbol. Ekspresi dari keyakinan Jawa tentang sangkan-paraning dumadi. Tentang asal dan akhir manusia. Dari pertemuan lingga (kemaluan laki-laki disimbolkan gunung) dan yoni (kemaluan perempuan disimbolkan lautan) menjadi embrio, lahir, hidup, dan kelak kembali ke asal tanah (serat wirid hidayat jati). Namun simbol-simbol yang sangat filosofis itu inheren terkandung perspektif kejadian yang akan datang. Tertib dunia yang konotasinya harmoni merupakan pakem soal itu. Artinya, sebelum amuk laut dan amuk gunung ini mereda, masih akan ada amuk pamungkasnya. Itu adalah amuk di jagat manusia.

Berdasar kepercayaan itu, maka hari ini dan hari-hari yang akan datang suasana panas akan melanda negeri ini. Keributan rentan tersulut. Manusia gampang terpancing emosi. Perselisihan diselesaikan melalui adu phisik. Dan dari sisi politik, rebut kekuasaan, perang intrik dan fitnah tak terhindarkan. Ritme ini terus meninggi sampai semuanya reda kembali. Lahir kembali harmonisasi Kraton Laut, Kraton Api, dan Kraton Manusia. Namun jika Gunung Merapi bertahan dengan letusannya sekarang disusul letusan Gunung Bromo, gunung-gunung lain di luar Jawa dan diimbangi dengan tenangnya Gunung Semeru, Gunung Dieng, Gunung Slamet, dan Gunung Kelud, maka ini yang sangat bahaya bagi ketentraman negeri ini. Sebab situasinya akan chaostis yang mungkin saja disusul suksesi.

Dan sebagai penutup, sekarang kita amati pergerakan amuk gunung yang puluhan berstatus waspada itu. Kita cocokkan prediksi serat-serat kuno itu masih mempunyai relevansi atau tidak sambil introspeksi diri agar tidak terpancing emosi. Selain itu, kita juga jangan terlalu percaya dengan suratan ini. Sebab hakekatnya para pujangga yang menuliskan itu sedang mengamalkan sastra puja. Suratan metafisis untuk menambah spirit sang raja.

Mari kita lihat, pantau, dan renungkan berbagai bencana yang sedang melanda negeri ini. Tentu, sambil berdoa.

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

Jumat, 29 Oktober 2010

Arti Penting Sang Juru Kunci Merapi Hery Winarno - detikNews


Yogyakarta - Eksistensi gunung Merapi bagi masyarakat Yogyakarta tak lepas dari adanya mitos terdapat hubungan khusus antara 'penunggu' Merapi dengan lingkungan kraton Yogyakarta. Kondisi ini diperkuat dengan adanya utusan dari keraton Yogyakarta, untuk menjadi juru kunci (kuncen) Merapi.

Juru kunci yang dimaksud adalah Mas Penewu Surakso Hargo atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Maridjan.

Kini, sang kuncen telah tiada sejak ditemukan dalam kondisi meninggal, Rabu (27/10) lalu di salah satu sudut rumahnya yang porak poranda.

Legenda Gunung Merapi telah ditinggalkan sang kuncen yang selama 30 tahun telah menemaninya. Lalu seberapa penting arti juru kunci di gunung teraktif di nusantara ini.

"Itu penting banget, kalau tidak ada juru kunci para pendaki tidak akan mendapat informasi tentang gunung yang didaki. Kuncen biasanya memberi tahu apa yang dilarang, jalur pendakian, penyelamatan dan lain-lain," kata mantan mahasiswa pencinta alam, Sandi M, yang saat ini menjadi relawan PMI Kabupaten Sleman, saat berbincang dengan detikcom, di posko utama penanggulangan bencana Merapi di Pakem,
Jalan Kaliuran, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (30/10/2010).

Menurutnya, Mbah Maridjan bertugas menjaga gunung dengan cara menerawang dari pengalaman atau 'ilmu titen', dan menggabungkannya dengan firasatnya yang telah terlatih sebagai warga Merapi sejak kecil.

"Kuncen itukan orang yang sejak kecil sudah hidup di lingkungan Gunung Merapi. Jadi, Mbah Maridjan, simbah sudah titen (hafal) soal gejala gunung Merapi," ujar warga Sleman ini.

Selain memberi petunjuk bagi para pendaki yang ingin mendaki puncak Merapi, tugas Mbah Maridjan yang paling utama adalah memberi informasi kepada penduduk sekitar bila ada aktifitas Merapi yang dirasa membahayakan.

"Kuncen itu selain menjaga gunung juga menjaga masyarakat dilingkungan. Jangan sampai menjadi korban saat Merapi ngamuk. Karena kuncen itu sudah titen betul dengan melihat tanda-tanda yang ada," kata Sandi.

Kuncen yang merupakan anggota abdi dalem, diangkat langsung kraton Ngayogjokarto Hadiningrat untuk mengemban misi berat tersebut. Mbah Maridjan sendiri diangkat menjadi kuncen oleh Sri Sultan HB IX saat itu.

"Sebagai abdi dalem, Mbah juga pasti melayani keluarga kraton bila ingin melakukan ritual di Merapi. Itu tugas lainnya dari juru kunci," kata Sandi.

(her/aan)

In Memoriam Mbah Maridjan, Menepati Janji Sampai Mati


Yogyakarta - Seribu pertanyaan dari publik tentang keberadaan Mbah Maridjan terjawab sudah. Juru kunci Gunung Merapi itu ikut gugur di pangkuan gunung penebar kesuburan itu. Amanah Sultan HB IX untuk menjaga gunung paling berbahaya di Indonesia itu, selesai sudah.

"Dilihat dari batiknya dan kopiah yang dipakai di kepalanya kita yakin (itu jenazah Mbah Maridjan)," kata petugas Tim SAR Yogyakarta, Suseno, saat ditemui di RS dr Sardjito, Yogyakarta, Rabu (27/10/2010). Mbah Maridjan ditemukan dalam posisi sujud di dapur. Luka bakar terdapat di tubuhnya. Bajunya robek-robek.

Nama Raden Ngabehi Suraksohargo atau yang lebih terkenal dengan panggilan Mbah Mardijan melambung seiring dengan peristiwa meletusnya Gunung Merapi, Yogyakarta, pada 2006 lalu.

Mbah Maridjan terkenal karena sebagai juru kunci Gunung Merapi, dia tidak mau mematuhi perintah untuk turun gunung oleh Sultan Hamengkubuwono X. Akibatnya, mata dunia pun terbelalak pada sosok renta yang sangat sederhana ini.

Bahkan, saking terkenalnya pria kelahiran Kinahrejo, Cangkringan, Sleman, tahun 1927 itu, Pemerintah Jerman yang saat itu sedang menggelar hajatan Piala Dunia bermaksud mengundang Mbah Maridjan untuk menghadiri pembukaan Piala Dunia 2006. Si Mbah lantang menolak. "Kalau saya ke Jerman, siapa yang mencari rumput sapi saya," tutur pria sepuh itu.

Bagaimana Mbah Maridjan setelah dikenal dunia? Apalagi Si Mbah saat ini telah menjadi ikon produk jamu "Roso-roso"! Adakah perbedaan dengan Si Mbah setelah lebih 'berada'? Ternyata tidak. Mbah Maridjan tetap seperti yang dulu, ramah, rendah hati dan selalu tersenyum menghadapi siapa pun meski belum kenal sama sekali.

"Saya ya tetap seperti ini," ujar Mbah Maridjan dengan Bahasa Jawa khasnya saat
ditemui detikcom di sela-sela kesibukannya yang terus menerima tamu di saat
musim liburan Natal dan Tahun Baru, Senin (24/12/2007) silam.

Mbah Maridjan menuturkan, pascameletusnya Gunung Marapi pada 2006 silam, banyak perubahan pada dirinya. Selain menjadi terkenal, dia menjadi ikon produk jamu yang juga membuat namanya semakin melambung.

"Tapi soal honor, itu bukan saya yang mengurusi. Tapi anak-anak saya, dan masyarakat juga menikmati hasilnya," papar pria bersahaja ini.

Pengalaman lucu pun diceritakan Mbah Maridjan saat pengambilan gambar dalam iklan tersebut. "Waktu itu saya diajari agar saya mengangkat tangan saya sambil membawa gelas dan mengatakan 'roso-roso'. Sering diulang," kata Mbah Maridjan disambut tawa para tamunya.

Karena usianya yang semakin renta, Mbah Maridjan mengaku sudah tidak kuat lagi melakukan aktivitas sehari-hari semisal berladang dan mencari rumput. "Rumput satu kali mencari biasanya bobotnya 50 kilo. Jadi pundak saya sudah nggak kuat untuk mengangkatnya," cerita Mbah Maridjan sambil tertawa.

"Kan sudah minum jamu 'roso-roso' itu, Mbah?" Mbah Maridjan hanya tertawa lebar
mendengar pertanyaan tersebut.

Sayangnya, saat itu Mbah Marijan tidak mau lagi difoto bareng dengan pengunjung. Hal ini berbeda 2006 lalu tatkala Si Mbah dengan sabar bersedia meladeni tamu yang hendak berpose dengannya.

"Nanti kalau mau difoto tembok saya sudah nggak bisa lagi menampung foto-fotonya," ujar si mbah sembari menunjukkan foto-foto Mbah Maridjan dengan berbagai pose yang terpampang di tembok rumahnya.

Namun kini, sosok sederhana dan rendah hati ini telah tiada. Mbah Maridjan menepati janjinya kepada Sultan HB IX untuk terus menjaga Merapi sampai akhir hayat.

Selamat jalan Mbah, di mata kami, sampeyan tetap roso! (anw/nrl)

Contoh Terbaik dari Mbah Maridjan Budhi Masthuri - detikNews


Jakarta - Hari ini kita mendengar berita, Mbah Maridjan menjadi salah satu korban dari letusan Gunung Merapi Yogyakarta. Konon ia ditemukan meninggal dalam rumahnya di Dusun Kinahrejo dalam posisi bersujud. Mbah Marijan telah memberikan contoh terbaik kepada kita tentang bagaimana memegang komitmen dan tanggungjawab dalam menjalankan tugas yang diembannya sebagai penjaga Merapi.

Saya ingin mengajak kita mengenang dan memetik pelajaran mendasar dari sikap heroisme Mbah Maridjan dalam menghadapi letusan Gunung Merapi pada pertengahan tahun 2006 lalu. Saat itu ketika orang ramai-ramai turun dari lereng Merapi, Mbah Maridjan justru naik mendekati puncaknya. Tidak tanggung-tanggung, hanya berjarak 2 (dua) km dari kawahnya! Sosok tua bersahaja ini mencoba ikut 'menjinakkan' Merapi dengan caranya sendiri yang unik.

Mbah Marijan sebagai juru kunci Merapi begitu mencintai tugasnya dengan tetap memilih 'menjaga' Merapi dari dekat sekalipun pemerintah telah menghimbaunya untuk segera mengungsi. Bahkan seorang Gus Dur dan Gusti Joyo (Adik Sri Sultan HB X) juga tidak berhasil 'merayu'-nya turun. Banyak orang menyayangkan sikap Mbah Maridjan ini, tetapi tampaknya ia lebih menyayangi Merapi daripada harus ikut mengungsi. Setidaknya ada empat hal yang bisa kita catat dari sikap Mbah Maridjan tersebut.

Mbah Maridjan memberikan contoh kepada kita tentang bagaimana sebuah tanggung jawab yang dipegang teguh selama menjalankan tugas dan pekerjaannya. Seperti petugas pemadam kebakaran yang mempertaruhkan nyawa untuk memadamkan api, begitu pula Mbah Maridjan yang rela menantang maut demi menjalankan tugasnya sebagai juru kunci Merapi. Satu sikap yang belakangan tidak mudah ditemukan dalam diri pejabat publik kita. Saat ini banyak orang yang sudah tidak menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diembannya secara amanah. Anggota DPR yang tidur saat sidang atau bahkan tidak pernah menghadiri sidang, sipir penjara yang berkolusi membebaskan narapidana, polisi yang tidak menjaga letusan senjatanya, jaksa yang menjual tuntutan demi meraih ratusan juta bahkan miliaran rupiah, hakim yang tidak menjalankan tugas undang-undang untuk menghadirkan saksi penting, dan banyak lagi contoh drama pengingkaran tanggung jawab yang dimainkan oleh pejabat publik di negeri ini.

Mbah Maridjan juga memberikan motivasi kepada kita bagaimana sebuah keberanian diperlukan untuk 'melawan' kekuatan (baca:tekanan) yang tidak sesuai dengan kebenaran yang diyakininya. Mungkin sebagian orang akan memberi label sebagai orang yang 'mbalelo, keras kepala, ngeyel, dsb'. Semua label tersebut salah besar bila dilekatkan kepada sosok Mbah Maridjan. Baginya mengungsi bukanlah jalan terbaik untuk terhindar dari bencana. Bila sebagian orang melihatnya sebagai bentuk irrasionalitas, justru sikap 'bertahan' Mbah Maridjan adalah yang paling rasional. Saat itu, sebagian besar masyarakat lereng Merapi enggan mengungsi karena khawatir akan kehilangan sumber penghidupan. Padi yang sedang mulai menguning, jagung yang mulai tampak ranum dan hewan ternak yang mulai beranak pinak adalah aset penyangga hidup mereka selama ini. Siapa yang akan menjamin aset tersebut tidak akan hilang atau dicuri orang apabila harus ditinggal mengungsi? Ini bukan soal mbalelo, keras kepala, atau ngeyel. Ini adalah soal bagaimana masyarakat Merapi harus bertahan hidup, tidak hanya dari bahaya letusan Merapi tetapi dari bahaya paceklik dan kemiskinan setelah Merapi meletus. Satu sikap yang sangat rasional bukan?

Selain itu Mbah Maridjan telah menjadi inspirasi kepada kita untuk bisa membedakan penggunaan kekuasaan pada tempatnya. Ketika itu, Ia hanya akan mau turun kalau diperintahkan oleh Raja Yogya yang memberinya tugas sebagai juru kunci. Sekalipun yang menyuruh Sri Sultan HB X, tetapi Mbah Maridjan meyakini bahwa saat itu kapasitasnya sebagai Gubernur DI Yogyakarta, sehingga ia tidak akan mengikuti himbauan tersebut karena mandatnya sebagai penjaga Merapi diperoleh dari Raja, bukan Gubernur. Sehingga dalam hal ini Mbah Maridjan sama sekali tidak merasa membangkang. Baginya ketetapan untuk tidak mengungsi dan bertahan di lereng Merapi adalah untuk membantu tugas pemerintah menyelamatkan warga.

Selamat jalan Mbah Maridjan, engkau telah memberikan contoh terbaik kepada kami tentang komitmen, konsistensi dan keteguhan hati.

(vit/vit)

Sultan HB X versus Mbah Maridjan


TEMPO Interaktif, Jakarta - Kakek berusia 83 tahun tersebut ditemukan di rumah dalam keadaan tak bernyawa oleh relawan Tim SAR pada Rabu (27/10) 06.05 WIB. Ia ditemukan di kamar mandi rumahnya dalam keadaan sujud. Dialah Maridjan atau yang lebih dikenal dengan Mbah Maridjan.

Pria yang memiliki enam orang cicit tersebut meninggal saat menjalankan tugasnya sebagai juru kunci Gunung Merapi. Mbah Maridjan dua kali menolak perintah Sultan Hamengku Buwono X untuk mengevakuasi diri dari Desa Kinahrejo.

Penolakan pertama dilakukan Mbah Maridjan pada Mei 2006. Ketika Merapi meletus pada Mei 2006, aparat pemerintah termasuk penguasa Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono, meminta warga Desa Kinahrejo untuk mengungsi. Akan tetapi, Mbah Maridjan malah berdiam di pelataran Srimanganti yang berlokasi di punggung selatan Merapi. Ia pun tak tersentuh awan panas.

Bagi Maridjan, Sultan Hamengku Buwono X adalah pejabat pemerintah yang ucapannya sama dengan pejabat lainnya: meminta penduduk agar segera mengungsi. Karena itu, meski ia seorang abdi dalem, ia tak harus patuh pada Sultan yang kini menjabat Gubernur DIY. Mbah Maridjan mengaku hanya mengindahkan ucapan almarhum Sultan Hamengku Buwono IX, ayah Sultan Hamengku Buwono X, yang mengangkatnya sebagai juru kunci Merapi dengan gelar Raden Ngabehi Suraksohargo 28 tahun lalu.

Sikap tersebut dianggap sebagian orang sebagai pembangkangan Mbah Maridjan karena menolak seruan agar masyarakat di sekitar Merapi mengungsi karena gunung ini sudah ditetapkan berstatus Awas.

Ketika Maridjan secara diam-diam pergi ke pelataran Srimanganti, sempat muncul desas-desus ia dipaksa mengungsi keluar dari Dusun Kinahrejo. Ternyata penduduk tahu kalau Maridjan justru naik ke Gunung Merapi. Akibatnya, dari 19 kepala keluarga atau 84 jiwa warga di Dusun Kinahrejo, tak ada seorang pun yang mengungsi. Anak-anak balita hingga orang tua yang sudah renta memilih bertahan di rumah mereka sembari berdoa mohon perlindungan Tuhan sebagaimana diserukan Maridjan.

Tak terlihat buntalan kain berisi perlengkapan yang siap dibawa mengungsi. Setiap pagi, warga pun masih mencari rumput untuk pakan sapi perah. Siang harinya, mereka masih memerah sapi untuk diambil susunya. Tak ada kekhawatiran apa pun pada warga dukuh ini.

Jika desa-desa lain di sekitar Merapi telah sepi ditinggal penduduk yang mengungsi, kehidupan di Dusun Kinahrejo berjalan normal. Bahkan terlihat lebih ramai oleh banyaknya pendatang, terutama wartawan dan petugas yang hilir-mudik ke Kinahrejo.

Berkat sikap tersebut, nama Mbah Maridjan meroket. Ia pun sempat menjadi bintang iklan produk suplemen.

Penolakan kedua dilakukan tahun ini. Meskipun status Merapi telah naik menjadi Awas, Mbah Maridjan tetap tidak bersedia meninggalkan rumahnya di Dusun Kinahrejo. “Lha saya di sini (di rumah) kerasan. Nanti kalau ada tamu ke sini malah kecele kalau saya pergi,” kata Mbah Maridjan saat ditemui di kediamannya, Senin (25/10).

Bagi Mbah Maridjan, tetap tinggal di rumah lebih aman dan nyaman. Bahkan dengan bertemu para tamu yang silih berganti datang menemuinya untuk meminta nasihat adalah hiburan baginya.

Namun, penolakan yang kedua ini tidak berakhir seperti yang pertama. Ternyata, awan panas atau wedhus gembel menerjang Dusun Kinahrejo. Mbah Maridjan pun tewas disapu wedhus gembel bersama sekitar 29 orang lainnya.

Menanggapi meninggalnya Mbah Maridjan, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bela sungkawa. Meski begitu, Sultan menyesalkan keputusan Mbah Maridjan dan warga yang menjadi korban awan panas yang tak segera meninggalkan lokasi untuk mengungsi.

“Mereka yang enggak mengungsi itu itu punya keyakinan sendiri atau karena kesombongan saya nggak tahu,’’ kata Sultan menjawab pertanyaan wartawan di Kepatihan, Rabu, siang (27/10).

MBM TEMPO| TNR| KODRAT SETIAWAN

Inilah Saat Terakhir Mbah Maridjan Bersama Wartawan


Menjelang kematiannya, juru kunci (Kuncen) Gunung Merapi, Mbah Maridjan memang menjadi incaran wartawan. Karena dialah satu-satunya orang yang menolak untuk dievakuasi. Ketika ditanya wartawan soal perintah agar mengosongkan kawasan lereng Merapi, ‘selebriti’ gaek ini justru mempersilakan masyarakat untuk mengungsi lebih dulu.

Karena penolakan itulah, wartawan sering memburu dimana Mbah Maridjan berada. Seperti halnya Victarianus Satpranyoto wartawan Kantor Berita Antara. Victarianus mengaku sempat bertemu Mbah Maridjan untuk terakhir kalinya bersama empat kawannya antara pukul 14.30 – 15.30 WIB. “Kami sudah berada di Kinahrejo sekitar pukul 14.00 WIB. Kami menunggu cukup lama, karena waktu itu Mbah Maridjan masih tidur. Jadi kami menunggu beliau bangun,” jelas Victarianus yang kami kutip dari Rebuplika, Rabu (27/10).

Saat itu hanya ada lima wartawan dan seorang yang mengaku utusan khusus mantan ketua PBNU Hasyim Muzadi. Saat Mbah Maridjan bangun, dia langsung menghampiri para wartawan. Terjadi dialog selama hampir satu jam. “Memang jawaban yang diberikan Mbah Maridjan banyak ngelantur atau diplesetkan. Banyak yang tidak nyambung,” jelasnya.

Ia mencontohkan ketika wartawan menanyakan apakah sudah ada perintah dari Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X agar dia segera mengungsi? Mbah Maridjan justru menjawab enteng. “Bagaimana mau memberikan perintah wong beliau di selatan Malioboro sedang saya ada di utara,” tuturnya.

Ketika ditanya mengapa Mbah Maridjan tidak mengungsi, dia hanya menjawab tidak takut karena Merapi bukan hantu yang menakutkan. Setelah bicara ngalor-ngidul, akhirnya juru kunci tersebut pamit untuk shalat Ashar. Wartawan pun bergegas turun.

Tinggal satu orang yakni yang mengaku utusan Hasyim Muzadi yang ikut shalat berjamaah. Lelaki yang tidak diketahui namanya itu minta waktu Mbah Maridjan pada Rabu (27/10) ini karena Hasyim Muzadi mau bertamu. Tapi almarhum menolak. “Kalau mau ketemu ya hari ini, besok saya tidak bisa karena mau pergi,” cetusnya.

Kabarnya orang yang mengaku utusan mantan ketua PBNU selamat. Karena begitu selesai shalat Ashar yang bersangkutan terus pulang.

Mukena Selamatkan Ponimin dari Wedhus Gembel


Misbahol Munir - Okezone
Awan Panas Merapi (Daylife)

SLEMAN - Nama Ponimin mendadak tenar pascaerupsi Gunung Merapi. Ihwalnya, warga yang tinggal di Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta ini, sekeluarga selamat dari semburan awan panas yang bersuhu sekira 600 derajat celcius.

Sebelum awan panas alias wedhus gembel menerjang desanya, Hj Yati, istri Ponimin sempat mengalami peristiwa aneh. Yakni, didatangi seorang kakek tua berpakaian khas Jawa yang mengingatkannya untuk segera mengungsi.

Saat ditemui okezone, di rumahnya Jumat (29/30/2010), Hj Yati menceritakan peristiwa gaib tersebut yang diyakini menyelamatkannya dari kobaran awan panas. Ketika itu sekira pukul 17.50 WIB, dirinya akan melaksanakan salat Magrib yang bersamaan dengan berbunyinya sirine tanda pemberitahuan jika Merapi meletus.

"Saya mengambil mukena, dan salat magrib dengan tidak seperti biasa. Setelah salam langsung mengambil Alquran. Keluar dan mengaji di tengah jalan beraspal. Mengaji surat Alkahfi," tuturnya.

Baru setengah membaca surat tersebut, tiba-tiba dia berhenti karena di depan melihat ada seorang lelaki tua. "Dia memakai jarik bergambar wayang. Di belakang dia ada api merah sekali berbentuk segi empat," ungkap Hj Yati.

Lelaki tua itu lalu berkata dengan bahasa Jawa, "Kuwe nyingkiro, ngalio, aku arep ngenterke Kraton Ngayogyokarto (Kamu minggir, pindahlah, aku akan menghancurkan Krator Yogyakarta)."

Hj Yati langsung menyela ucapan pria tua tak dikenal itu dengan mengatakan, "ojo (jangan)" seraya membaca doa nurbuat. Menurut dia, orang tua itu bicara lagi, "Ratumu ono opo opone konbelo koyo ngene (Ratumu nggak ada apa-apanya kok dibela)."

Lantas Hj Yati menjawab lagi,"ojo (jangan)". Bapak tua kembali menyahutnya, "neng ngono aku ngobrak obrik kene (Kalau begitu aku akan merusak di sini aja)." Mendengar perkataan itu, Hj Yati tetap berkata, "ojo (jangan)".

Lebih lanjut dia mengutarakan setelah mengatakan jika Kraton Yogyakarta akan hancur, lelaki tua tersebut seketika menghilang dari pandangannya. Namun api yang berada di belakang laki-laki tua tadi justru mengejar dirinya. "Api itu mengejar saya. Saya langsung ke rumah dan menarik anak-anak," tuturnya.

Kelima anaknya kemudian dimasukan ke dalam mukena yang masih dikenakannya. Namun api yang dilihatnya itu terus mengejar hingga ke depan rumah. Sementara itu, suaminya Ponimin belum pulang ke rumah karena tengah mencari dadap serep dan daun awar-awar. Hal yang sama, kata Hj Yati, suaminya juga dikejar api.

Mereka akhirnya bertemu di depan rumah, kemudian bersama-sama lari dan masuk masuk ke kamar. Sehingga, dalam kamar tersebut ada tujuh orang, yakni Hj Yati, Ponimin, dan kelima anaknya yang kesemuanya berlindung dalam satu mukena.

Hj Yati juga menceritakan ketika mereka berlindung dalam mukena, Ponimin sempat melihat ponsel dan diketahui sudah ada 135 panggilan. "Saat itu bapak mengambil HP untuk meminta bantuan," imbuhnya. Sayangnya, petugas yang dihubungi tidak ada yang bersedia mengevakuasi lantaran semuanya telah mengungsi setelah ada peringatan Merapi akan meletus.

Saat itu, kata Hj Yati, hanya bisa pasrah dan memohon doa pada yang kuasa untuk diberi keselamatan dari luncuran wedhus gembel. Berkat belindung dalam mukena, Hj Yati, Ponimin dan kelima anaknya selamat. Ponimin hanya luka bakar di bagian telapak kaki.(ram)

Ponimin: Ada Istana Megah dan Panembahan Senopati di Merapi


Jakarta - Bagi Ponimin, pria yang menjadi kandidat kuat pengganti Mbah Maridjan, Merapi bukanlah gunung biasa. Di matanya, gunung berapi paling aktif di Indonesia itu sebenarnya adalah kraton megah yang dihuni Panembahan Senopati.

"Merapi adalah kraton, kraton yang sangat besar. Tahun 1994, saya pernah dapat bisikan dan mengikuti bisikan ke arah atas Merapi," cerita Ponimin saat ditemui wartawan di rumah dr Ana Ratih Wardani, di Kaliadem, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Jumat (29/10/2010).

Ponimin mengatakan, bisikan itu memintanya untuk memejamkan mata. Nah saat matanya dibuka, Ponimin mengaku melihat sebuah istana nan megah dengan latar putih.

"Di dalam Istana banyak diisi jin dan juga tokoh kerajaan. Di atas istana ada panembahan Senopati," katanya.

Namun Poniman tidak ingin memaksakan 'keyakinannya' itu kepada orang lain. "Bagi saya Merapi adalah kraton," lanjutnya.

Selama ini, Ponimin dikenal sebagai 'orang pintar' kedua setelah Mbah Maridjan. Setelah Mbah Maridjan meninggal terkena awan panas, Kraton Yogyakarta meminta Ponimin sebagai penjaga Merapi.

"Penunggu Merapi, lelaki tua penghuni Merapi, yang datang menemui saya suka memberi tahu kalau kemudian akan ada wedhus gembel dan daerah mana saja yang kena," katanya.

Lelaki tua yang disebut Ponimin itu, yang pernah mengatakan, Istana Merapi itu menyebut awan panas sebagai sampah Merapi. "Waktu kejadian lalu, si Mbah memberi tahu saya kalau dia akan membuang sampah ke emperan Maridjan dan di daerah pipa, dekat Kaliadem sebelah selatan. Itu kan sudah terbukti ke daerah Mbah Maridjan," terangnya.

(ndr/ken)

Sebelum Wedhus Gembel Datang, Ponimin Mengaku Ditemui 'Penguasa' Merapi


Jakarta - Ponimin mengaku ditemui 'penguasa' Merapi atau makhluk gaib penunggu Merapi beberapa hari sebelum musibah awan panas terjadi. Sosok lelaki tua berbaju lurik dan berblangkon khas Jawa itu meminta Ponimin membuat bubur merah dan putih.

"Sabtu 23 Oktober pagi, saya didatangi si Mbah. Dia bilang mau menghancurkan lereng Merapi di empat penjuru, menggunakan kekuatan api, air, tanah, dan angin," cerita Ponimin saat ditemui wartawan di rumah dr Ana Ratih Wardani, di Kaliadem, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Jumat (29/10/2010).

Namun si Mbah berjanji tidak akan menghancurkan tanah di sekitar Merapi asalkan Ponimin maum membuat bubur merah dan putih. Namun bubur itu bukanlah bubur biasa. Air pembuat bubur harus diambil dari 7 mata air yang berbeda.

"Kata si Mbah kalau mau selamat mesti membuat sesajen bubur merah dan putih yang airnya harus dari 7 mata air. Kemudian bubur harus didoakan doa nurbuat dan selamat," kata pria 50 tahun ini.

Ponimin mengaku, ini bukan kali pertamanya si Mbah menemuinya. Sosok gaib itu sudah mulai 'dikenalnya' sejak 1994.

Dalam 'kunjungannya' kali ini, si Mbah juga berpesan, bubur merah dan putih tersebut harus dimakan Ponimin dan keluarga. Selain itu, Ponimin juga diminta membuat ketupat kuning dan digantung di depan rumah.

"Setelah mendapat peunjuk itu, segera menghubungi teman-teman saya, saya katakan boleh percaya atau tidak," kata Ponimin. Ponimin lantas membuat apa yang diminta oleh lelaki tua misterius itu.

"Selasa pagi (26/10), si Mbah datang lagi dan dia bilang akan menunda untuk meminta korban," terang lelaki yang selalu memegang tasbih di tangan kanannya ini.

Namun sore hari, lelaki tua itu datang menemui istrinya dan memberi peringatan. Hingga kemudian datang awan panas, Ponimin, 2 anak, menantu dan 2 cucunya bersembunyi di balik mukena istrinya Yati. Ajaib mereka selamat, dan kemudian pergi meninggalkan lokasi dengan estafet memakai alas bantal karena tanah terasa panas.

Pengalaman ajaib itu membuatnya menjadi kandidat kuat menggantikan Mbah Maridjan sebagai juru kunci Merapi. Namun Ponimin mengaku masih belum bisa mengambil sikap.

Selama ini, Ponimin dikenal warga lereng Merapi sebagai orang pintar kedua setelah Mbah Maridjan. Dia biasa dimintai tolong warga untuk menentukan hari baik, mengusir setan, dan juga menjadi pawang hujan. (ndr/ken)

Rajin Mengaji, Istri Mbah Ponimin Sering Difitnah Punya Pesugihan


Yogyakarta - Istri kandidat kuat pengganti juru kunci Gunung Merapi Mbah Maridjan, Mbah Ponimin, Yati (42), dikenal rajin mengaji. Namun, Yati seringkali diterpa fitnah dan digosipkan memiliki pesugihan.

"Selama di sana, saya banyak menerima fitnah. Banyak orang yang menduga saat saya mengaji, saya menyedot kekayaan orang lain dan banyak juga yang menduga saya punya pesugihan," kata Yati.

Hal ini disampaikan Yati kepada detikcom di kediaman dokter Ana, di Dusun Ngenthak, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, Jumat (29/10/2010).

Yati mengaku rajin mengaji hanya untuk dakwah. Ia ingin mengislamkan penduduk yang belum mengenal Islam.

Kehidupan Yati dan Ponimin yang tinggal di Dusun Kaliadem, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, bisa dibilang lumayan berada. Yati sempat menerima banyak bantuan dari sejumlah pihak saat Gunung Merapi meletus pada tahun 2006.

"Tahun 2006, pasca letusan merapi, banyak orang yang mau masuk Islam. Tetapi, setelah itu (aman) saya kembali menerima banyak fitnah. Ketika tahun 2006, mungkin banyak orang yang tidak percaya kepada saya karena waktu itu rumah saya memang tidak dilalui wedhus gembel," papar perempuan berkerudung warna putih dan mengenakan daster warna ungu ini.

Yati bersyukur keluarganya selamat dari amukan awan panas pada Selasa 26 Oktober 2010 pukul 17.02 WIB. "Tetapi saat ini, rumah saya dilalui wedhus gembel apalagi rumah saya di paling atas. Namun, nyatanya saya dan keluarga selamat," ujar Yati.

Ibunda dari Ilham Galih Habibi (5) ini berharap, dengan bencana Gunung Merapi ini masyarakat semakin yakin akan kebesaran Sang Pencipta.

"Saya berharap dengan ini, orang yakin akan kebesaran Allah," kata Yati.(aan/nrl)

Kisah Ajaib Ponimin Selamat dari Awan Panas Merapi


Yogyakarta - Yati (42), istri Mbah Ponimin enggan mengomentari sang suami yang menjadi kandidat kuat pengganti Mbah Maridjan. Yati hanya ingin kembali ke rumahnya untuk mengaji dan salat istikharah sebelum mengambil keputusan.

"Saya harus mengaji dulu dan salat istikharah apakah kiranya suami saya bisa menjadi penjaga Merapi," kata Yati yang ditemui detikcom di kediaman dokter Ana, di Dusun Ngenthak, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, Jumat (29/10/2010).

Perempuan berkerudung ini berharap bisa segera kembali ke rumah di Dusun Kaliadem, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman.

"Saya saat ini sudah 3 hari tidak mengaji. Yang saya takutkan jika sampai 7 hari saya tidak mengaji akan terjadi sesuatu," ujar dia sambil memegang telepon genggamnya.

Yati yang mengenakan kerudung warna putih dan daster warna ungu ini dikenal rajin mengaji.

"Dalam mengaji, saya tidak mau dilihat orang lain. Tetapi, kalau orang lain ingin mendengarkan tidak masalah. Saya mengaji dan salat tahajud biasa pukul 23.00 WIB hingga fajar," kata Yati yang mengalami luka di bagian kaki karena menginjak pasir panas ini. Namun kini luka Yati sudah sembuh.

Yati mengaku pernah tinggal di 4 pesantren. Yati dan Ponimin memiliki putera, Ilham Galih Habibi (5). Yati yang asli dari Desa Merdikorjo, Tempel, Sleman, ini memiliki anak angkat yang telah berkeluarga dan memberinya 2 cucu.

Ponimin merupakan warga asli Merapi. Pria yang menurut warga kuat berzikir ini, telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta sejak 2001. Pada Kamis (28/10) GKR Hemas, istri dari Sri Sultan HB X, datang menengok pengungsi Merapi. Saat itu Hemas mendengar cerita dari Ponimin. Setelah itu Hemas meminta Ponimin untuk meneruskan tugas Mbah Maridjan sebagai kuncen Merapi.
(aan/asy)

Ponimin, Kandidat Kuat Pengganti Mbah Maridjan


Yogyakarta - Yati (42), istri Mbah Ponimin enggan mengomentari sang suami yang menjadi kandidat kuat pengganti Mbah Maridjan. Yati hanya ingin kembali ke rumahnya untuk mengaji dan salat istikharah sebelum mengambil keputusan.

"Saya harus mengaji dulu dan salat istikharah apakah kiranya suami saya bisa menjadi penjaga Merapi," kata Yati yang ditemui detikcom di kediaman dokter Ana, di Dusun Ngenthak, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, Jumat (29/10/2010).

Perempuan berkerudung ini berharap bisa segera kembali ke rumah di Dusun Kaliadem, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman.

"Saya saat ini sudah 3 hari tidak mengaji. Yang saya takutkan jika sampai 7 hari saya tidak mengaji akan terjadi sesuatu," ujar dia sambil memegang telepon genggamnya.

Yati yang mengenakan kerudung warna putih dan daster warna ungu ini dikenal rajin mengaji.

"Dalam mengaji, saya tidak mau dilihat orang lain. Tetapi, kalau orang lain ingin mendengarkan tidak masalah. Saya mengaji dan salat tahajud biasa pukul 23.00 WIB hingga fajar," kata Yati yang mengalami luka di bagian kaki karena menginjak pasir panas ini. Namun kini luka Yati sudah sembuh.

Yati mengaku pernah tinggal di 4 pesantren. Yati dan Ponimin memiliki putera, Ilham Galih Habibi (5). Yati yang asli dari Desa Merdikorjo, Tempel, Sleman, ini memiliki anak angkat yang telah berkeluarga dan memberinya 2 cucu.

Ponimin merupakan warga asli Merapi. Pria yang menurut warga kuat berzikir ini, telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta sejak 2001. Pada Kamis (28/10) GKR Hemas, istri dari Sri Sultan HB X, datang menengok pengungsi Merapi. Saat itu Hemas mendengar cerita dari Ponimin. Setelah itu Hemas meminta Ponimin untuk meneruskan tugas Mbah Maridjan sebagai kuncen Merapi.
(aan/asy)

Sultan: Ponimin Bukan Pengganti Mbah Maridjan, Hanya Ditugasi Jaga Merapi


Jakarta - Sosok Ponimin (50) bagi warga lereng Merapi bukan figur yang asing. Dia adalah orang "sakti" nomor dua setelah Mbah Maridjan. Selama ini dia dikenal sebagai "orang pintar" yang biasa dimintai bantuan warga Merapi.

Ponimin, dikenal sebagai pawang hujan, tempat konsultasi tentang hari baik, dan juga tokoh agama yang suka diminta warga untuk memimpin pengajian dan selamatan.

"Gusti Kanjeng Ratu Hemas meminta saya menggantikan Mbah Maridjan," ujar Ponimin saat ditemui wartawan di rumah dr Ana Ratih Wardani, di Kaliadem, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Jumat (29/10/2010).

Ponimin merupakan warga asli Merapi. Pria yang menurut warga kuat berzikir ini, telah memiliki 2 cucu ini menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta sejak 2001. Pada Kamis (28/10) GKR Hemas, istri dari Sri Sultan HB X, datang menengok pengungsi Merapi. Saat itu Hemas mendengar cerita dari Ponimin. Setelah itu Hemas meminta Ponimin untuk meneruskan tugas Mbah Maridjan sebagai kuncen Merapi.

"Tapi saya tidak bisa memberikan jawaban sekarang, rumah saya yang saya tinggali hancur," ujar Ponimin yang juga biasa dipanggil Mbah Ponimin.

Dilihat dari penampilannya, nuansa mistik tampak melekat pada Ponimin. Tasbih terkalung di pergelangan tangannya. Dua buah cincin akik melingkar di jari manis dan tengahnya.

"Untuk menjadi juru kunci Merapi, saya ada 3 syarat. Pertama, soal rumah saya yang hancur tentu saya harus berikhtiar, yang kedua izin dari Allah dan istri saya, yang ketiga semuanya itu harus terpenuhi," jelas pria berkumis ini.

Menurutnya pula, saat ini jabatannya sebagai abdi dalem Kraton Yogyakarta hanya pada tingkat jajar. Posisi itu masih jauh dengan kuncen Merapi, ada 3 golongan di atas posisinya sekarang untuk menjadi juru kunci.

"Jabatan saya masih jauh di bawah," ujar Ponimin yang mengaku jarang berkomunikasi dengan Mbah Maridjan.

Rumah milik Ponimin hanya berjarak 200 meter dari rumah Mbah Maridjan, namun beda dusun. Baik Mbah Maridjan dan Ponimin sama-sama dituakan di kawasan Merapi.
(ndr/nrl

Siapa Sosok Gaib Penyelamat Ponimin?


INILAH.COM, Sleman - Warga yang selamat dari terjangan awan panas Merapi, Ponimin Solihan, mengaku mendapat bisikan dari sosok gaib bahwa Merapi akan meletus. Siapa sosok itu, hingga kini masih belum terjawab.

Pada Sabtu (23/10/2010) malam, sosok gaib itu datang ke rumahnya, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

"Saat terpejam, saya melihat tanah putih, ada letusan, orang-orang bergelimpangan, dan semuanya porak-poranda," kata Ponimin, Jumat (29/10/2010), seperti dikutip metrotvnews.com.

Sosok gaib itu mengimbau Ponimin agar memakan jenang merah-putih, dan air tujuh sumur, yang sudah diberi doa. Sosok misterius ini juga menyarankan agar Ponimin tetap di rumah jika ingin selamat.

"Kalau kamu pergi jauh, sampah (awan panas) akan saya buang ke Selatan (daerah rumah Ponimin). Tapi kalau kamu tetap di rumah, sampah saya buang ke barat sampai di pelataran rumah Maridjan," kata sosok misterius itu seperti dicontohkan Ponimin.

Keesokan harinya, sosok itu datang kembali ke rumah Ponimin. Kali ini, kupat luar janur kuning berisi rajah arab dan uang Rp100 rupiah gambar gunung digantung di depan rumah, menjadi permintaannya.

Ponimin menuruti seluruh permintaan sang mahluk gaib itu. Alhasil, Poniman selamat dari awan panas yang biasa disebut wedhus gembel itu.

Sedangkan, juru kunci Merapi, Mbah Maridjan, wafat dalam posisi sujud di rumahnya. Kini, nama Ponimin disebut-sebut sebagai calon pengganti Mbah Maridjan. [TJ]

Ratu Hemas Jajaki Pengganti Maridjan


SLEMAN, KOMPAS.com — Permaisuri Keraton Yogyakarta Gusti Kanjeng Ratu Hemas mulai menjajaki sosok yang bisa menggantikan almarhum Ki Surakso Hargo atau Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi.

Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, Kamis, menemui Ponimin dan meminta agar salah satu tokoh masyarakat di Dusun Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, ini bersedia menggantikan Mbah Maridjan yang meninggal dunia terkena awan panas letusan Gunung Merapi.

Ponimin yang juga terluka akibat awan panas Gunung Merapi tersebut ditemui GKR Hemas di rumah kerabatnya di Dusun Ngenthak, Desa Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman.

Dalam kesempatan tersebut, GKR Hemas juga sempat menyampaikan permintaan agar Ponimin bersedia menjadi juru kunci Gunung Merapi. "Kowe saiki sing tunggu Merapi (kamu sekarang yang menunggu Merapi)," kata GKR Hemas.

Sebagai informasi, Ponimin yang selama ini tinggal di sisi selatan kawasan wisata Lava Tour Kaliadem, Kepuharjo, tersebut selama ini bekerja sebagai Kepala Urusan Keuangan Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, itu tidak langsung menyanggupi permintaan GKR Hemas.

"Kula dereng saged matur sakpunika (saya belum bisa menjawab saat ini)," kata Ponimin.

Mendapat jawaban tersebut, GKR Hemas menyatakan tidak masalah dan hal itu akan dibicarakan lebih lanjut.

"Yo wis, kuwi dirembug mengko (ya sudah, nanti dibicarakan lain waktu)," kata GKR Hemas.

GKR Hemas mengunjungi Ponimin hampir selama satu jam dan ingin mendengar langsung kisah Ponimin dan keluarganya yang berhasil selamat dari amukan awan panas saat Merapi meletus, Selasa (26/10/2010) sore.

Ponimin yang oleh warga sekitar juga sering dimintai tolong mengenai masalah spiritual tersebut bersama istri dan anak-anaknya selamat dari terjangan awan panas Merapi.

Ponimin yang mengalami luka bakar di kedua kaki tersebut sempat dirawat di Rumah Sakit Panti Nugroho, Pakem, hingga Selasa malam. Namun, keesokan harinya ia bersama keluarga memilih mengungsi di rumah dokter Anna Ratih Wardhani di Dusun Ngenthak, Kelurahan Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Sleman, hingga saat ini.

Di depan GKR Hemas, Ponimin mengaku mendapat informasi secara gaib tentang letusan Merapi.

Menurut Ponimin, makhluk gaib itu bahkan memberi tahu bahwa awan panas akan menerjang rumah Mbah Maridjan. Ponimin juga mengatakan, Merapi masih akan meletus lagi.

"Yo wis, nek ana apa-apa, matur wae ke Keraton yo (ya sudah, kalau ada apa-apa, segera lapor ke Keraton)," kata GKR Hemas yang dijawab Ponimin dengan anggukan kepala.

Ponimin juga abdi dalem dengan gelar Surakso Ponihardja, pangkat paling rendah di jajaran abdi dalem Keraton Yogyakarta.

Ponimin pada 2006 menyatakan mundur sebagai abdi dalem karena kecewa dengan Keraton dan berseberangan pandangan dengan Mbah Maridjan.

Ponimin merasa kecewa terhadap Mbah Maridjan yang memutuskan bersedia dikontrak sebagai bintang iklan perusahaan jamu terkenal.
ANT
Sumber :

Ponimin: Puncak Letusan Merapi 5-6 Hari Lagi


INILAH.COM, Jakarta - Mengaku mendapat petunjuk dari penunggu Gunung Merapi, Ponimin Solihan bisa mengetahui apa yang terjadi ke depan. Puncak Merapi akan terjadi 5-6 hari lagi.

Menurutnya, erupsi pada Selasa (26/10/2010) hanyalah permulaan. Bakalan ada letusan Merapi dahsyat, dan sebuah dusun akan hancur.

"Mbah penunggu mau menyatukan Kali Kuning dan Kali Boyong, disitu ada dusun. Mungkin mau diratakan," katanya saat ditemui wartawan di rumah dr Ana Ratih Wardani, di Kaliadem, Umbulharjo, Sleman, Jumat (29/10/2010).

Percaya atau tidak ramalan Ponimin, saat ini namanya disebut-sebut sebagai pengganti Mbah Maridjan, yang meninggal pada Selasa (26/10/2010) akibat awan panas. Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dikabarkan sudah menunjuk Ponimin sebagai calon juru kunci gunung Merapi.

Ponimin adalah warga yang selamat dari amukan awan panas setelah didatangi sosok ghaib. Sosok ghaib itulah yang memberi petunjuk mengenai akan adanya letusan Merapi dan langkah yang harus dilakukan untuk menyelamatkan diri.

Ponimin dan kelurganya selamat dari awan panas hanya berlindung di dalam sehelai mukena yang dikenakan istrinya. [TJ]

Sri Sultan: Ponimin Juru Kunci Urusan Saya


INILAH.COM, Jakarta - Belum ada niat dari Sri Sultan Hamengkubowono X untuk mencari pengganti Mbah Maridjan. Juru kunci Gunung Merapi yang baru ditentukan setelah permasalahan pengungsi beres.

Ketika ditanyai perihal Ponimin Solihan, Sri Sultan menegaskan urusan pengganti Mbah Maridjan berada di tangannya.

"Itu semua urusan saya, saya yang megang, saya yang berwenang, saat ini yang dipentingkan adalah para pengungsi korban bencana, setelah ini semua beres," ujarnya di lokasi pengungsian, Jumat (29/10/2010) petang.

Sebagaimana diberitakan, Gusti Kanjeng Ratu Hemas bertemu dengan Ponimin Solihan di rumah dr Ana Ratih Wardani, Kaliadem, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, kemarin.

Ratu Hemas menunjuk Ponimin sebagai calon pengganti Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi. Kala itu, Ponimin tidak mengiyakan. Pasalnya, ada beberapa hal yang belum diselesaikan.

Salah satu alasan Ponimin belum mau menjadi penjaga Merapi karena rumahnya yang terletak di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, masih rusak akibat terjangan awan panas pada Selasa (26/10/2010).

Selain itu, Ponimin belum mempunyai gubuk atau rumah sendiri untuk wirid dan mengaji istrinya, Yati, setiap malam. [bar]

Ponimin Belum Putuskan Jadi Juru Kunci Merapi

INILAH.COM, Jakarta - Gusti Kanjeng Ratu Hemas telah bertemu dengan Ponimin Solihan di rumah dr Ana Ratih Wardani, Kaliadem, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, kemarin. Ia menunjuk Ponimin sebagai calon pengganti Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi.

Kala itu, Ponimin tidak mengiyakan. Pasalnya, ada beberapa hal yang belum diselesaikan. Apa saja?

Saat diwawancara Metrotv, Jumat (29/10/2010), Ponimin menyatakan ia sudah dihubungi Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Namun, ia belum memberikan jawaban karena masih berkonsentrasi pada keluarganya dan rumahnya di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, masih rusak akibat terjangan awan panas pada Selasa (26/10/2010).

Selain itu, Ponimin belum mempunyai gubuk atau rumah sendiri untuk wirid dan mengaji istrinya, Yati, setiap malam.

"Istikari (salat minta petunjuk) dulu. Istri saya mengizini atau tidak, disini ada Yati disitu Ponimin," imbuhnya saat diwawancara.

Sebagaimana diberitakan, Ponimin lolos dari maut. Ia menceritakan, kala awan panas menyelimuti rumahnya, Ponimin sekeluarga berlindung di bawah mukena yang dipakai istri Ponimin, Yati, yang baru selesai menunaikan salat magrib.

Untuk menuju pos pengungsian, Ponimin sekeluarga menggunakan bantal dan sajadah sebagai alas secara bergantian. Rumah Ponimin hanya berjarak 200 meter dari rumah Mbah Maridjan.

Menurut Ponimin, ia dan keluarganya selamat karena pertolongan sosok gaib yang datang kepadanya. Sosok gaib itu berwujud kakek mengenakan baju putih dengan api di bagian belakangnya.

Ia datang dua hari sebelum letusan dan memberitahukan bahwa Merapi akan meletus. Ia diperintahkan tetap di rumah dan akan selamat jika ia dan keluarganya memakan jenang merah-putih dan minum air tujuh sumur yang telah diberi doa. Jenang itu harus dimakan habis oleh keluarganya.

Sosok itu mengatakan jika ia mengungsi, awan panas akan dilemparkan ke rumah arah Selatan atau ke rumah Ponimin. Namun, jika tetap di rumah, awan panas itu akan dibuang ke barat sampai ke halaman rumah Mbah Maridjan.

Sehari sebelum letusan, sosok itu datang lagi dan menyuruh membuat kupat luar janur kuning berisi rajah arab dan uang Rp100 rupiah gambar gunung. Kemudian digantung di depan rumah.

Sehari setelah itu, Merapi meletus. Ia dan keluarganya selamat. Ponimin hanya menderita luka bakar di bagian kakinya karena tidak tertutup mukena saat awan panas datang.

Selain itu, Ponimin bisa mengetahui apa yang terjadi ke depannya. Prediksinya, puncak Merapi akan terjadi 5-6 hari lagi.

Erupsi pada Selasa (26/10/2010) hanyalah permulaan. Bakalan ada letusan Merapi dahsyat, dan sebuah dusun akan hancur. "Tunggu sampai 5-6 hari ke depan," katanya.

Percaya atau tidak ramalan Ponimin, saat ini namanya disebut-sebut sebagai pengganti Mbah Maridjan, yang meninggal akibat awan panas. [bar

Ponimin Bisa Lihat Istana Jin di Merapi


INILAH.COM, Jakarta - Melalui mata batinnya, Ponimin Solihan bisa melihat sebuah Istana besar di Gunung Merapi. Penglihatan supranatural yang dimiliki calon pengganti Mbah Maridjan tersebut didapatkannya pada tahun 1995.

Ia mendapatkan bisikan dari mahluk gaib, yang menuntutnya ke atas Merapi. Setelah sampai, pria berumur 50 tahun ini disuruh memejamkan mata. Sebuah Istana yang diisi jin dan tokoh kerjaan dilihatnya.

"Di atas istana ada panembahan Senopati," katanya saat ditemui wartawan di rumah dr Ana Ratih Wardani, di Kaliadem, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Jumat (29/10/2010).

Sebelumnya, Ponimin mengaku mendapat bisikan dari sosok gaib bahwa Merapi akan meletus. Siapa sosok itu, hingga kini masih belum terjawab.

Pada Sabtu (23/10/2010) malam, sosok gaib itu datang ke rumahnya, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

"Saat terpejam, saya melihat tanah putih, ada letusan, orang-orang bergelimpangan, dan semuanya porak-poranda," kata Ponimin, Jumat (29/10/2010), seperti dikutip metrotvnews.com.

Mahluk gaib itu mengimbau Ponimin agar memakan jenang merah-putih, dan air tujuh sumur, yang sudah diberi doa. Sosok misterius ini juga menyarankan agar Ponimin tetap di rumah jika ingin selamat.

"Kalau kamu pergi jauh, sampah (awan panas) akan saya buang ke Selatan (daerah rumah Ponimin). Tapi kalau kamu tetap di rumah, sampah saya buang ke barat sampai di pelataran rumah Maridjan," kata mahluk misterius seperti dicontohkan Ponimin.

Keesokan harinya, mahluk itu datang kembali ke rumah Ponimin. Kali ini, kupat luar janur kuning berisi rajah arab dan uang Rp100 rupiah gambar gunung digantung di depan rumah, menjadi permintaannya.

Ponimin menuruti seluruh permintaan sang mahluk gaib itu. Alhasil, Poniman selamat dari awan panas yang biasa disebut wedhus gembel itu.

Sedangkan, juru kunci Merapi, Mbah Maridjan, wafat dalam posisi sujud di rumahnya. Kini, nama Ponimin disebut-sebut sebagai calon pengganti Mbah Maridjan. [bar]

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More