by nusantaraku
Tulisan Faisal Basri (FB) “Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal” dan “Hantu : Neoliberalisme vs Ekonomi Kerakyatan” yang berusaha menyangkal seraya membela bahwa kebijakan Boediono tidak pernah membela kepentingan IMF di Indonesia tentu mendapat penyangkalan kembali oleh mereka yang pernah duduk bersama dengan Boedionjo. Tulisan FB tersebut seolah memberi sinyal bahwa “idealisme Faisal Basri” telah dibeli oleh “politik” atau dengan bahasa nakalnya “FB sudah bosan melarat”.
Dr. Drajad H. Wibowo, satu-satunya anggota DPR yang tidak memberi suara kepada Boediono sebagai Gubernur BI dengan perbandingan suara 45 dari 46 anggota komisi. Drajad H Wibowo paham betul adanya sumbangsih kebijakan Boediono dalam BLBI ketika ia duduk di BI, penjualan bank-bank BPPN bersama obligasi rekap, dan agenda privatisasi 48 BUMN di tahun 2004. Dan terakhir adalah Kwik Kian Gie, Kwik menantang cawapres Boediono untuk berdebat mengenai neoliberalisme dan prakteknya di Indonesia selama ini untuk membuktikan kemana komitmen ekonomi Boediono yang sebenarnya.
Pernyataan Kwik untuk menantang debat dengan Boediono disambut Tim Sukses SBY-Boediono, Andi Arif (mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik – PRD) mengatakan Kwik lebih neolib daripada Boediono. Ia bahkan mengatakan Kwik tidak berbuat apa-apa ketika menjadi Menteri, “Alias makan gaji buta dalam bahasa kasarnya karena tidak mampu membangun kreatifitas. Kwik hanyalah bertipe birokrat ketimbang ekonom ketika memimpin Bappenas. Sebagai orang yg pernah gagal, seharusnya Kwik tidak layak berkomentar,. Ia menambahkan:
“Dalam definisi Kwik, justru dialah yang neolib. Di jaman Kwik menjadi ketua Bapenas hutang tak berkurang. Justru faktanya Tim ekonomi sekarang lebih mampu menurunkan hutang…”Jadi kalau Kwik ingin berdebat dengan Boediono, dari segi apapun tak ada celah bagi Kwik untuk bisa membuktikan bahwa dia lebih mengerti ekonomi jika ukurannya adalah hasil kerja ketika menjabat“. [sumber]
Begitu juga Tim Sukses Boediono, M Chatib Basri, ia mengatkaan bahwa Kwik tidak layak berdebat karena ia melihat sepak terjang Kwik selama menduduki orang nomor satu di Bappenas, tidak ada satupun kebijakan yang pro terhadap rakyat kecil. “Jadi untuk Pak Kwik nggak perlu berhari-hari karena dari awal sudah selesai. Pak Kwik gimana selama di Bappenas, counter kebijakannya seperti apa. Atau jangan-jangan nggak ngerti neo liberal itu seperti apa….. “Privatisasi sebagian besar masih dimiliki negara, Pertamina, dan PLN. Jadi tidak ada argumen yang menyatakan kita serahkan semuanya kepada pasar”[sumber]
**********
Oke, saya akan berusaha menjawab pernyataan mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik dan Ekonom M Chatib Basri. Mari kita flash back era tahun 1990-an, kemudian tahun 1998, lalu tahun 2000-an, 2002 dan kemudian 2004 dimana Kwik terlibat banyak hal. Sebelum menjadi menteri, Kwik sudah berkiprah dalam dunia tulis menulis di harian Kompas. Di era Gus Dur ia menjadi Menko Ekuin dan selalu memberi bargaining dalam setiap keputusan dengan IMF serta bertahap melepas dikte IMF dengan enggan menekan kontrak LoI IMF. Prinsip ekonomi yang tidak ingin bergantung dengan asing menyebabkan rumor negatif berkembang dirinya, dan akhirnya ia terpaksa mengundurkan diri dari kabinet Gus Dur.
Setelah Megawati menjadi Presiden, Kwik dipercayai mengemban tugas sebagai kepala Bappenas. Prinsip ideologi nasionalisme yang melekat terhadap dirinya untuk membangun bangsa yang berdirikari menyebabkan ia selalu “dijauhi” dengan tim ekonomi era Megawati. Dan salah satu fakta realita yang menjadi pertanyaan besar bagi Mantan Ketum PRD dan M. Chatib Basri adalah penjualan saham-saham Bank BPPN yang menyebakan kerugian ratusan triliun bagi rakyat Indonesia serta menguntungkan ratusan triliun bagi para pemegang saham baru, obligor, bankir dan kapatilis asing.
**********
Tulisan mengenai penjualan saham bank BPPN serta utang swasta yang disulap menjadi utang negara (utang najis) sudah saya tulis di Presiden Mega dan SBY : Pembuat & Pembayar Utang Najis dan Inilah Capres Idaman Nusantaraku : Pemimpin Ala Argentina. Penjualan saham 51% saham BCA pada 14 Maret 2002 serta saham-saham bank-bank BPPN lain seperti Niaga, Permata, Danamon, Lippo, telah menyebabkan kerugian yang sangat besar.
Berikut kesaksian Kwik dihadapan Panja BLBI [berita 27 Sept 2007] yang dibentuk DPR untuk mencari klarifikasi penyelesaian BLBI dan salah satunya adalah masalah penjualan saham di tahun 2002. Dalam RDP tersebut, undangan yang hadir hanyalah Kwiek Kian Gie dan Rizal Ramli yang pernah menjabat menjadi Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian. Sementara 3 orang lain yang diundang yaitu Boediono, Bambang Subiyanto dan Dorodjatun Kuntjorojakti tidak hadir dengan alasan berhalangan.
“Satu hari sebelum BCA dijual [13 Maret 2002] ada sidang kabinet yang dipimpin Megawati (Presiden) sama sekali tidak membicarakan penjualan BCA, tidak ada di agendanya. Tapi setelah sidang kabinet selesai jam 12 adalah Bapak Jusuf Kalla yang sebagai orang yang mengetahui ekonomi dan perdagangan dengan inisiatif mengumumkan, saudara-saudara urusan penjualan BCA merupakan urusan yang penting oleh karena itu saya sarankan supaya para menteri ini pulang makan dan jam 3 kumpul lagi Depkes, khusus mengenai masalah ini supaya tidak diketahui wartawan. Terjadilah diskusi, dan tentu terjadi perdebatan 1 lawan semua, saya tidak setuju bahwa BCA dijual besok dengan harga 5 triliun untuk 51 persen saham, di dalamnya ada tagihan pemerintah 60 triliun“.
“Argumentasi saya ditentang oleh semua yang hadir, termasuk Boediono sebagai Menkeu, Dorodjatun sebagai Menko Perekonomian, SBY sebagai Menkopolkam, Jusuf Kalla Menko Kesra. Jam 6 kita belum selesai rapat, Dorodjatun bilang akhiri. Laksamana (Menneg BUMN) bersama-sama dengan dia ke Megawati bilang bahwa BCA bisa dijual, saya tidak bisa mengendalikan emosi saya, dan marah mengatakan kalian bagaimana dan yang menenteramkan saya SBY, jadi yang menyetujui adalah Megawati dan ini menjadi saksi hidup sampai duduk di dalam kabinet,” paparnya. [detikfinance]
Catatan : Kwik menyampaikan ini pada tahun 2007, 2 tahun sebelum deklarasi SBY-Boediono. Dan kita bisa melihat siapa yang tetap konsisten. Dan Kwik Kian Gie diteror ketika memberi pengakuan kembali hal ini dalam Today Dialogue Mei 2008 [sumber]
**********
Tiga menteri itu menyetujui agar BCA segera dijual sementara Kwik tidak setuju. Alasan Kwik kalau BCA harus dijual, maka obligasi rekap pemerintah di BCA harus terlebih dulu dikeluarkan. Hal itu penting, karena dalam pandangan Kwik, semua obligasi itu hanya digunakan sebagai instrumen bukan obligasi yang sebenarnya. Obligasi rekap adalah salah satu klausul letter of intent yang disodorkan oleh Dana Moneter Internasional, IMF kepada Indonesia.
Jelas Kwik sebagai menteri tidak menyetujui penjualan saham-saham BPPN seperti BCA yang merugikan negara hingga ratusan triliun, transaksi yang akan menyengsarakan rakyat hingg saat ini. Bagaimana mungkin para menteri yang dianggap pro-rakyat bisa menyetujui penjualan 51% saham BCA ke Farallon Capital Partners (total 97%) yang merugikan negara paling sedikit 50 triliun? Bayangkan, pemerintah menjual 51% saham BCA seharga Rp 5 triliun yang di dalamnya terdapat Obligasi rekap atau surat utang pemerintah sebesar Rp 60 trilyun. IMF memaksa menjualnya kepada swasta dengan harga yang ekuivalen dengan Rp 10 trilyun untuk 100% saham. Jadi BCA harus dijual dengan harga Rp 10 trilyun, dan yang memiliki BCA dengan harga itu serta merta mempunyai tagihan kepada pemerintah sebesar Rp 60 trilyun dalam bentuk OR yang dapat dijual kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Seharusnya, bank-bank pesakit di masa krisis 97-98 mendapat obligasi rekap sementara, dan bila banknya sudah sehat, obligasi pemerintah bisa ditarik kembali. Namun rupanya setelah bank-bank itu sudah sehat dan bebas dari kredit macet, IMF mendesak bank-bank yang sudah sehat itu termasuk BCA harus dijual bersama obligasinya. Penjualan saham yang merugikan negara ini terjadi tanpa sepengetahuan Kwik. Kwi baru tahu keesokan harinya, ketika mayoritas saham BCA telah dijual kepada Farallon seharga Rp 1.775 per lembar saham atau total Rp 5,3 triliun meski di dalamnya terdapat tagihan pemerintah Rp 60 trilun. Melalui penjualan 51% saham BCA dan begitu juga Bank BPPN lainnya, berarti para menteri ini secara langsung telah membuat utang swasta (dalam obligasi rekap) menjadi utang negara. Itulah yang harusnya Andi Arif mengerti mengapa utang negara pada saat itu meningkat pesat??
Dan pada tanggal 14 Maret 2002, Kwik secara lugas tetap menolak perampokan uang rakyat dalam penjualan saham BCA bersama obligasi rekap yang disetujui oleh seluruh menteri yang ikut rapat pada 13 Maret 2002.
Meski sudah tahu penjualan saham BCA tak bisa dihalangi lagi, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie menegaskan sekali lagi, ketidaksetujuannya tentang divestasi bank BCA, jika obligasi pemerintah yang melekat pada bank tersebut belum dikeluarkan.
“Bukan hanya divestasi BCA saja, tapi juga bank-bank lainnya,” kata Kwik usai sidang kabinet terbatas di Gedung Utama Sekretariat Negara Jakarta, siang ini. Kwik mengatakan, sejak dulu selalu menolak divestasi saham pemerintah yang ada di bank-bank sebelum obligasi yang ada di bank bersangkutan dibersihkan. [sumber]
**********
Saya tidak akan mengupas lebih jauh mengenai BLBI atau privatisasi antara Kwik Kian Gie dan Boediono. Bagaimana Boediono ketika menjabat sebagai Menkeu memiliki agenda luar biasa dalam privatisasi yang menjadi harapan besar bagi para agen neolib, IMF atau WordBank. Pada 28 April 2004, di depan Komisi IX DPR-RI, Boediono mengajukan usulan agar pada tahun 2004 ini dilakukan privatisasi 28 BUMN untuk dijual dan tujuh diantaranya diminta diprioritaskan pada tahun itu juga. Ketujuh BUMN itu adalah Bank Mandiri, BNI, Tambang Timah, Aneka Tambang, Tambang Batubara Bukit Asam, PTPN III, dan PT Merpati Nusantara Airlines. Ambisi menjual BUMN Boediono kandas oleh para anggota DPR. [referensi]
Tidak hanya di era Megawati, di era Pemerintah SBY, Menko Ekonomi Boediono yang masuk dalam tim inti ekonomi mengagendakan pemerintah SBY-JK menprivatisasi 44 BUMN di tahun 2008. Jika tidak ada tokoh nasional dan politik yang membendung penjualan 44 BUMN yang sebagiannya adalah BUMN Strategis, maka ini akan menjadi agenda privatisasi terbesar sepanjangan sejarah Indonesia. [referensi] Seharusnya, M Chatib Basri mendokumentasi agenda-agenda privatisasi Boediono ini yang ditentang oleh para tokoh nasional? Meskipun pada akhirnya hanya sedikit BUMN yang berhasil dijual, namun kita harus lihat agenda-nya yang ditentang oleh khalayak ramai? Mungkin Bung Chatib Basri masih ingat bagaimana Krakatau Steel mau dijual, namun akhirnya kandas?
Dari fakta realita diatas, maka seharusnya Tim Sukses Boediono M Chatib Basri atau Tim Sukses SBY-Boediono Andi Arif atau Faisal Basri menjawab dulu, apakah mereka yang mendukung penjualan 51% saham BCA merupakan kebijakan pro-rakyat? Dan apakah mereka yang menolak penjualan BCA bersama Obligasi rekap adalah orang yang berpaham neo-lib? Sebagai orang partai ataupun ahli hitung menghitung, sangatlah ganjil bahwa menjual 51% saham berobligasi rekap 58 triliun hanya senilai 5.3 Triliun. Dan perjuangan Kwik menolak penjualan saham 51% saham BCA yang merugikan negara dikatakan menerima gaji buta dan neolib? Sedangkan mereka yang mendukung penjualan 51% saham BCA yang merugikan negara justru orang pro-rakyat? Rakyat yang mana pak?
Tahukah bahwa dengan menjual 51% saham BCA bersama obligasi rekapnya, maka secara sah para pejabat negara menjadikan utang para bankir/obligor/kapitalis menjadi utang negara? Mengapa utang najis ini harus dibayar oleh rakyat miskin? Mari kita timang-timang, siapa yang lebih pro-rakyat dan mana yang lebih mementingkan kepentingan asing? Dari nama-nama diatas, maka siapakah diantara Kwik Kian Gie, Boediono, JK, SBY, Megawati, Dorodjatun, Laksamana Sukardi yang paling pro-rakyat hingga paling pro-kepentingan IMF/asing?
Justru saya akan membalik pernyataan ekonom M Chatib Basri “Jadi untuk Pak Boediono nggak perlu berhari-hari karena dari awal sudah selesai. Pak Boediono gimana selama di Menkeu, kebijakannya seperti apa. Fakta dan realitas berbicara. Atau jangan-jangan Pak Chatib nggak ngerti penjualan 51% BCA itu seperti apa dan tidak tahu bahwa negara dirugikan triliunan rupiah”. Dan yang pastinya, kebijakan Tim Ekonomi baik di era Mega maupun SBY dalam menangani utang najis, IMF, privatisasi jauh berbeda dengan seorang Néstor Kirchner, Sang Presiden Argentina.
Salam Perubahan,
ech-nusantaraku, 26 Mei 2009
Kwik adalah mantan Menko Perekonomian era Gus Dur dan Mantan Kepala Bappenas era Megawati. Ia juga mantan Ketua Litbang DPP PDIP. Baca juga wawancara Kwik oleh Warta Bisnis : IMF Digunakan untuk Menekan Presiden [Agustus 2003] dan tulisan Kwik: Apa Neo Liberalisme (NEOLIB) Itu? Bagian1