Recent Videos

Kartu Lebaran 2012

Minal Aidin Wal faizin, Mohon Maaf lahir Batin, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1433H.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 03 November 2010

Limbad VS Ponimin

Limbad Vs Ponimin Calon Juru Kunci Gunung Merapi Persaingan Limbad Dan Ponimin Kuncen Merapi Pengganti Mbah Marijan. Melihat perkembangan terakhir status Gunung Merapi yang semakin berbahaya dan awas, tampaknya penentuan siapa juru kunci yang menggantikan mbah Marijan perlu segera ditetapkan. Dari berita terbaru, artis The Master Limbad mencalonkan diri menjadi Juru Kunci Merapi bersaing dengan mbah Ponimin orang sakti calon kuat kuncen merapi. Info menarik sebelumnya Foto Penampakan Awan Mbah Marijan Sosok Awan Panas Mbah Maridjan Ketika Gunung Merapi Meletus mengeluarkan wedhus gembel.

Persaingan Limbad vs mbah Ponimin menarik untuk disimak lebih lanjut ya. Mereka berdua memang identik dengan hal yang berbau mistis dan ghaib. Limbad pesulap terkenal versus Ponimin pemilk mukena ajaib seakan-akan semakin memperkuat kondisi Gunung Merapi yang diselimuti misteri yang berbau cerita mitos.

Benarkah Artis Pesulap Limbad akan menggantikan Mbah Marijan? Atau justru penduduk asli Ponimin yang jadi juru kunci Gunung Merapi? Keputusan memang ada di tangan Keraton Jogja Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tapi masyarakat umum, khususnya masyarakat DIY Yogyakarta Sleman Jawa Tengah, bisa membantu memberikan masukan.

Sebaiknya dibaca dulu artikel berikut ini, supaya kita semua tahu arti penting posisi juru kunci merapi. Baru kemudian memutuskan siapa pemenang antara Limbad vs Ponimin. Supaya mbah Petruk penunggu Gunung Merapi tidak marah terus batuk-batuk lagi.

Arti Penting Sang Juru Kunci Merapi

Eksistensi gunung Merapi bagi masyarakat Yogyakarta tak lepas dari adanya mitos terdapat hubungan khusus antara ‘penunggu’ Merapi dengan lingkungan kraton Yogyakarta. Kondisi ini diperkuat dengan adanya utusan dari keraton Yogyakarta, untuk menjadi juru kunci (kuncen) Merapi.

Juru kunci yang dimaksud adalah Mas Penewu Surakso Hargo atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Maridjan.

Kini, sang kuncen telah tiada sejak ditemukan dalam kondisi meninggal, Rabu (27/10) lalu di salah satu sudut rumahnya yang porak poranda.

Legenda Gunung Merapi telah ditinggalkan sang kuncen yang selama 30 tahun telah menemaninya. Lalu seberapa penting arti juru kunci di gunung teraktif di nusantara ini.

“Itu penting banget, kalau tidak ada juru kunci para pendaki tidak akan mendapat informasi tentang gunung yang didaki. Kuncen biasanya memberi tahu apa yang dilarang, jalur pendakian, penyelamatan dan lain-lain,” kata mantan mahasiswa pencinta alam, Sandi M, yang saat ini menjadi relawan PMI Kabupaten Sleman, saat berbincang dengan detikcom, di posko utama penanggulangan bencana? Merapi di Pakem,
Jalan Kaliuran, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (30/10/2010).

Menurutnya, Mbah Maridjan bertugas menjaga gunung dengan cara menerawang dari pengalaman atau ‘ilmu titen’, dan menggabungkannya dengan firasatnya yang telah terlatih sebagai warga Merapi sejak kecil.

“Kuncen itukan orang yang sejak kecil sudah hidup di lingkungan Gunung Merapi. Jadi, Mbah Maridjan, simbah sudah titen (hafal) soal gejala gunung Merapi,” ujar warga Sleman ini.

Selain memberi petunjuk bagi para pendaki yang ingin mendaki puncak Merapi, tugas Mbah Maridjan yang paling utama adalah memberi informasi kepada penduduk sekitar bila ada aktifitas Merapi yang dirasa membahayakan.

“Kuncen itu selain menjaga gunung juga menjaga masyarakat dilingkungan. Jangan sampai menjadi korban saat Merapi ngamuk. Karena kuncen itu sudah titen betul dengan melihat tanda-tanda yang ada,” kata Sandi.

Kuncen yang merupakan anggota abdi dalem, diangkat langsung kraton Ngayogjokarto Hadiningrat untuk mengemban misi berat tersebut. Mbah Maridjan sendiri diangkat menjadi kuncen oleh Sri Sultan HB IX saat itu.

“Sebagai abdi dalem, Mbah juga pasti melayani keluarga kraton bila ingin melakukan ritual di Merapi. Itu tugas lainnya dari juru kunci,” kata Sandi. detik.com

Selasa, 02 November 2010

Kredo Mbah Maridjan


Oleh A.A. Ariwibowo
Juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan bersujud kepada Yang Maha Pencipta ketika menemui ajal pada Rabu (27/10) seraya berserah diri dan berbekal penuh satu energi dari tirakatan Jawa.
Dia membungkuk dengan tangan, lutut, dan kepala menyentuh tanah sebagai simbol bahwa raga hendak kembali kepada bumi.
Tersapu oleh suhu panas membara dari energi ajaran Jawa, "Aja sira lunga, yen tan weruh ingkang pinaran. Aja sira nganggo, yen tan weruh ingkang dienggo!" (Jangan kamu pergi, jika kamu tak tahu mana tujuanmu. Jangan kamu menyandang, jika kamu tak tahu apa yang kamu sandang!), Mas Penewu Suraksohargo ingin "kembali".
Lahir di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, pada tahun 1927, Mbah Maridjan bersujud dengan raga dan pikirn takzim di hadapan misteri tak berhingga. Ia merebahkan diri sampai seluruh tubuh dan hati menyentuh tanah. "Aku ini abu dan akan kembali menjadi abu".
Abu melambangkan awal dan akhir kehidupan. Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, sarat abu memutih dengan pemandangan daratan luluh lantak diterjang awan panas dari erupsi Gunung Merapi.
Surat-surat kabar pun menulis dengan menggunakan tinta hitam "Indonesia Bersedih" (Harian Kompas), dan "Memilukan...(Media Indonesia). Dan, sebuah stasiun televisi nasional mengajak berdoa kepada seluruh warga Indonesia (Pray for Indonesia).
Puing rumah terhampar dan bangkai hewan terdampar di Dusun Kinahrejo. Suhu awan panas terpapar mencapai 600-1.000 derajat celsius meluncur dari kawah Merapi dengan kecepatan 60 kilometer per jam menyapu dusun dan menewaskan sejumlah orang, termasuk Mbah Maridjan.
Insan bersama flora dan fauna dalam vitalitas Merapi seakan mewartakan bahwa Bumi ini sungguh misteri yang menggetarkan dan menggelorakan. Terjadi semburan abu vulkanik dan kerikil saling menyusul dalam erupsi eksplosif Gunung Merapi, Selasa (26/10) pukul 18.10.
"Erupsi kali ini lebih besar dari tiga erupsi sebelumnya," kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono. Semburan abu vulkanik dan kerikil merupakan ciri erupsi eksplosif gunung berapi.
Fenomen Merapi ini menggenapi kredo bahwa waktu itu maju dan memuncak. Waktu tidak dapat kembali (irreversible).
Merapi yang bergelora, merapi yang digdaya meski kini meminta korban puluhan jiwa seakan menyeret kontemplasi manusia bahwa zaman sudah sampai pada usianya yang tua (zaman wis teka titi wanci tuwa). Manusia terus diburu waktu untuk bersegera memohon jawaban yang serba pasti (maneges).
Sementara, Mbah Maridjan dengan kredonya merespons seluruh alam ciptaan dengan menerima segala kemalangan bahkan kematian tanpa menyalahkan siapa pun, termasuk Tuhan. Manusia tidak layak mengutuk atau mengeluh, karena manusia sejatinya berasal dari abu dan akan kembali menjadi abu.
Budayawan Sindhunata menulis dalam buku Petruk Jadi Raja, bahwa Gunung Merapi bisa memuntahkan api yang menghanguskan dan mematikan manusia. Namun, Gunung Merapi memberi hidup dan rejeki berupa pasir dan tanah subur. Dalam air dan api, ada berkah sekaligus malapetaka.
Kalau manusia mau menerima rejeki yang diberikan oleh air dan api, ia dituntut sanggup hidup dalam resiko karena air dan api. Menolak hidup dalam resiko membuat manusia menjadi pemarah, pengeluh, pengutuk dan tak mau bertanggung jawab. Inilah kredo Mbah Maridjan.
Ketika merespons tentang bencana banjir dan longsor di mana-mana akibat ulah manusia, ia mengatakan, ”Meski diberi sebanyak apa pun, manusia akan merasa kekurangan karena kekurangan itulah kebutuhan manusia”.
Ia menulis dalam jejaring sosial facebook, "Mbah masih merasa kerasan tinggal di Dusun Kinahrejo Cangkringan Sleman Yogyakarta, sambil berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Bagi yg sudah diminta pemerentah untuk mengungsi, mbok ya patuh ya... Mohon dengan sanget."
Saat Gunung Merapi berubah status menjadi awas pada 25 Oktober 2010, Mbah Maridjan pun menolak mengungsi. “Lha saya di sini (di rumah) kerasan. Nanti kalau ada tamu ke sini malah kecele kalau saya pergi,” kata Mbah Maridjan saat ditemui di kediamannya.
Ia memegang teguh tanggungjawab sebagai juru kunci dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando dari beliau untuk mengungsi. Mbah mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1970. Jabatan sebagai juru kunci lalu ia sandang sejak tahun 1982.
Ketika Gunung Merapi meletus pada 2006, imbauan pemerintah daerah dan bujukan aparat keamanan agar Mbah Maridjan turun mengungsi tak dihiraukan. Bahkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X telah mengatakan agar perintah pemerintah dipatuhi.
"Biarpun saya jadi Sultan, saya tunduk kepada keputusan pemerintah," kata Sultan saat Merapi meletus pada April 2006, sebagaimana dikutip dari laman Tempo.Com. Dan Mbah Maridjan menyatakan, "Setiap orang punya tugas sendiri-sendiri. Wartawan, tentara, polisi punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap di sini".
Imbauan yang meneguhkan setiap pengungsi agar mau bertanggungjawab atas hidupnya diutarakan oleh Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta Brigjen Polisi Ondang Sutarsa Budhi.
"Pokoknya kalau diminta turun ya turun sajalah, kondisi darurat dan mendesak, tidak usah memikirkan harta benda ataupun hewan ternak. Yang penting warga itu mematuhi perintah pasti aman," katanya.
Dalam hening bening, dalam mosaik tanggungjawab kepada hidup, Mbah Maridjan bersujud sebagai isyarat hendak berkomunikasi antara raga dan pikiran.
Intipati kredo Mbah Maridjan, "Berhentilah sejenak. Mampirlah minum. Dan rebahkanlah egomu."

Mbah Maridjan, Transformasi "Islam-Jawa"


Mbah Maridjan boleh dibilang salah satu pelaku fenomenal dalam transformasi teologis ”Islam-Jawa”. Kesejarahannya bisa ditarik benang merahnya dengan kesejarahan Wali Sanga.
Hubungan eksistensial Mbah Maridjan dengan Gunung Merapi bisa dirunut dalam proses perubahan kosmologi Jawa sejak zaman kerajaan-kerajaan Jawa sebelum abad ke-10 Masehi. Pada Mataram pertama yang berkedudukan di Yogyakarta sampai Kadiri, Singasari, dan Majapahit di Jawa Timur, secara kosmologis kehidupan itu dibagi dua, yaitu adanya jagat atas dan jagat bawah.
Menurut antropolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, jagat atas adalah tempat para dewa yang digambarkan terletak di atas gunung. Maka banyak gunung, terutama yang aktif, yang dikeramatkan, seperti Merapi, Semeru, Kelud, dan Bromo. Sementara jagat bawah berada di lembah yang ditempati manusia.
Kewajiban manusia adalah menjaga harmonisasi jagat bawah dengan jagat atas. Untuk itulah dibangun tempat-tempat suci dan secara periodik diselenggarakan ritual. Misalnya, keberadaan Candi Prambanan sebagai tempat suci ritual puja terhadap jagat atas di Gunung Merapi. Candi Penataran di Blitar, Jawa Timur, yang dibangun dalam tiga dinasti (Kadiri, Singasari, Majapahit) adalah tempat ritual puja terhadap jagat atas di Gunung Kelud. Candi Jago di Malang, Jawa Timur, untuk tempat puja jagat atas di Gunung Semeru.
Salah satu ritual yang masih lestari sampai sekarang adalah ritual Kasada yang dihelat masyarakat subkultur Tengger di Gunung Bromo.
Sejalan dengan melemahnya pengaruh Hindu, konsep kosmologi Jawa mengalami perubahan di mana konsep jagat atas tempat dewa diganti menjadi tempat ”Sing Mbaureksa” yang artinya yang berkuasa. Konsep sosok ”Sing Mbaureksa” ini tidak begitu jelas. Hanya dipersepsi sebagai ruh atau makhluk gaib, tetapi bukan dewa, bukan jin atau malaikat. Manusia berkewajiban menjaga harmonisasi dengan ”Sing Mbaureksa” tersebut demi keselamatan dan kemaslahatan umat manusia.
Sujud
Dengan diangkat menjadi juru kunci Merapi, keberadaan Mbah Maridjan (83) adalah menjadi ujung tombak atau tokoh kunci terpeliharanya harmonisasi Keraton Yogyakarta (jagat bawah) dengan Merapi (jagat atas).
Bagi Mbah Maridjan, konsep ”Sing Mbaureksa” Merapi adalah Tuhan. Hal itu tecermin dari doa-doanya yang hanya ditujukan kepada Tuhan sebagai Sang Maha Selamat (al-Salam). Jasad Mbah Maridjan yang ditemukan dalam posisi sujud menjadi bukti bahwa dia melakukan ritual secara Islam.
Masalah tempat sujudnya di kamar mandi harus dilihat dalam konteks darurat. Dalam situasi normal, sujud di kamar mandi jelas dilarang Islam.
Tindakannya itu juga membuktikan bahwa dalam situasi yang sangat gawat Mbah Maridjan tetap pasrah kepada Tuhan. Tetap memohon bagi keselamatan rakyat Yogyakarta.
Posisi sujud sekaligus menunjukkan betapa Mbah Maridjan sangat mencintai buminya, Merapi. Dia memegang ajaran Jawa: sedumuk bathuk senyari bumi ditohi pati (sejengkal tanah akan dibela sampai mati).
Posisi itu juga menunjukkan betapa Mbah Maridjan setia dengan amanat yang dipanggulnya menjaga harmonisasi dengan Merapi. Menerima amanat harus dijaga dengan taruhan nyawa. Dia tidak mau tinggal gelanggang colong playu, lari dari tugas dan tanggung jawab.
Pola Mbah Maridjan menjaga Merapi, tidak gegabah kalau dibilang sebagai bentuk transformasi teologis ”Islam-Jawa”, yaitu tatkala dia menggeser pusat kepasrahan, permohonan dan pemujaan dari ”Sing Mbaureksa” kepada Tuhan.
Dia melakukan transformasi itu secara bijaksana untuk menjaga harmonisasi sosial. Dia tetap melakukan upacara adat, tetapi ”ruh” upacara yang berupa doa itu menggunakan ajaran tauhid. Ibaratnya, casing-nya tetap, tetapi isinya yang baru.
Pola ini sealur benang merah dengan pola transformasi teologis ”Islam-Jawa” Wali Sanga. Misalnya, tetap memelihara pelbagai bentuk selamatan tetapi ”ruh”- nya sudah diganti dengan ajaran tauhid.
Sunan Kudus melarang masyarakat menyembelih sapi sebagai cara menjaga harmonisasi dengan umat Hindu. Padahal, kalau cuma berpijak pada syar’i, tindakan Sunan Kudus itu menyimpang karena melarang barang yang halal.
Dengan pola transformasi teologisnya—hasil ijtihadnya— itu, Mbah Maridjan berusaha memelihara agar umat tak terperosok ke dalam syirik. Tradisi Jawa tetap terpelihara, tatanan Keraton tetap dihormati dan dilestarikan, tetapi tak terjadi gejolak sosial. (ANWAR HUDIJONO)

Mbah Maridjan


Bre Redana
Beberapa kali saya bertemu Mbah Maridjan. Jauh sebelum Mbah Maridjan diperlakukan khalayak sebagai ”selebriti” dan kemudian membuat yang bersangkutan cenderung agak menutup diri, saya diperkenalkan kepadanya oleh temanteman seniman. Kami ngobrol gayeng di rumahnya yang sederhana di lereng Merapi. Perbincangan dalam bahasa Jawa.
Masih saya ingat jawabannya, ketika seorang teman bertanya kepadanya: Mbah, kesenian sing apik ki sing piye (kesenian yang bagus itu yang seperti apa)? Tercenung sejenak, dengan gayanya yang khas Mbah Maridjan bilang, ”Kesenian sing apik, ditiru ora iso, dicacat ora cacat.” (Kesenian yang baik, ditiru tidak bisa, dijelekkan tidak menjadi cacat).
Beberapa ungkapan Mbah Maridjan dikenang teman-teman. Rekan wartawan yang dekat dengannya ingat, ketika berkomentar bahwa desa ini resep (nyaman), Mbah Maridjan menukas: ”Resep opo? Senep....” (Nyaman apaan? Senep). Dengan itu Mbah Maridjan hendak mengungkapkan kemiskinan sehari-hari penduduk setempat—yang oleh kacamata luar dipandang asri permai tenteram.
Pada perkembangan selanjutnya, Mbah Maridjan sering muncul di televisi. Posenya terpampang di baliho serta di bis-bis kota di Jakarta sebagai bintang iklan. Terlihat di televisi pula, kediaman Mbah Maridjan tidak seperti dulu ketika saya kenal. Rumahnya mentereng, ubinnya berkilat.
Ketika televisi menayangkan Mbah Maridjan berlari-lari menutup muka menghindari kamera wartawan, selintas saya ingat Putri Diana. Nasib mereka kurang lebih sama. Sama-sama orang sederhana, tiba-tiba harus berada di panggung media massa dengan bahasa yang tak sepenuhnya mereka pahami. Mbah Maridjan tak beda dengan kita semua. Media massa, terlebih kenyataan gadungan televisi, telah membawa orang tercerabut dari realitas.
Dulu, stres Diana yang tak tertanggungkan bisa dilihat dari bahasa tubuh: memainkan kuku-kuku jari, kadang menggigitnya, kepala menunduk, mata melirik. Pada Mbah Maridjan, terlihat dengan gejala menutup diri. Seperti koala yang bisa kaget dengan entakan sekecil apa pun, misalnya bunyi jepretan kamera, begitu kurang lebih Mbah Maridjan. Sontak dia masuk cangkang begitu kamera mengarah kepadanya.
Pada makhluk-makhluk yang sensitif seperti koala, masih ada pihak yang melindungi. Misalnya dengan peraturan ketat: dilarang memotret, sedangkan Mbah Maridjan? Tiap detik privasinya dirambah, tanpa si perambah merasa bersalah. Akibat selanjutnya adalah keterasingan.
Tragedi keterasingan sudah sering diungkap berbagai karya seni dari sastra sampai film. Ujung dari itu semua adalah ”death wish”—kematian hanya sejengkal di depan kehidupan yang tak kita mengerti.
Mbah Maridjan barangkali bisa mengoperasikan kewaskitaannya menghadapi awan panas yang disebutnya ”wedus gembel”. Hidupnya akrab dengan semua gejala alam sehingga awan panas pun disebut mesra wedus gembel, harimau disebut kiaine, dan seterusnya. Namun wedus gembel media massa?
Ketika Julius Caesar ditusuk oleh sahabatnya sendiri, Brutus, sebelum tumbang sang kaisar hanya bisa berucap: ”Et tu? Brute?” (... dan kau, Brutus?).
Kita tidak tahu apa yang kira-kira terungkap dari Mbah Maridjan sebelum ajal menjemput. Adakah ”Et tu? Media?” Sampeankah itu, televisi.... ***

Wasiat Kepemimpinan Maridjan


Oleh M Alfan Alfian

"The leader who is humble rarely allows the power of their position to cloud their judgement". (Leroy McCarty)

KOMPAS.com — Kita berduka karena Mbah Maridjan, sang juru kunci Gunung Merapi, telah diberitakan meninggal dalam posisi bersujud, menyusul letusan gunung berapi paling aktif di Jawa tersebut.

Ucapan dukacita juga layak untuk diucapkan bersamaan dengan meninggalnya korban letusan lainnya, juga korban bencana alam gempa bumi di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, dan sebelumnya musibah banjir bandang di Wasior, Papua Barat. Kita memang sedang menghadapi cobaan berupa bencana alam di mana-mana.

Sebuah pemberitaan media online mengulas meninggalnya Maridjan dengan kalimat yang memungkinkan pembacanya menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan sosok sepuh itu cukup fatal. Memang, pada 2006 Maridjan selamat. Tempat tinggalnya, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, tidak dilewati awan panas atau wedhus gembel, tetapi tidak untuk saat ini. Seorang pakar menjelaskan, letusan kali ini bersifat eksplosif sehingga menyebabkan banyak korban jiwa.

Bagaimanapun, almarhum sangat fenomenal. Sebagai pemimpin informal dalam lingkup terbatas, ia sempat melakukan interupsi bahwa ternyata masih ada pemimpin yang unik sepertinya di Indonesia. Ia hadir di tengah-tengah realitas kepemimpinan formal yang sering menerima kritik tajam.

Mungkin banyak Maridjan lain yang belum terpublikasi di komunitas-komunitas lokal kita yang khas. Maridjan mencoba merepresentasikannya, setidaknya ia tampil jelas sebagai salah satu contoh kasus kepemimpinan informal yang layak diulas.

Tiga teladan
Apa yang dapat kita petik dari kepemimpinan Maridjan? Ada beberapa catatan atas gaya kepemimpinan informalnya yang bersahaja sebagai penjaga Merapi atas legitimasi Keraton Yogyakarta itu.
Pertama, menyangkut integritas dan loyalitasnya. Ia punya integritas dan reputasi yang tak diragukan, tentu dalam ukuran-ukuran tradisionalitas-informal. Adapun Sultan Hamengku Buwono IX mengangkatnya sebagai juru kunci, tentu saja bukan main-main. Dan, Maridjan loyal dengan penunjukannya itu, menjalankan tugas dalam bingkai pengabdian dan sesuai amanat.

Kedua, ia sosok pemimpin sederhana dan bijak. Harap diingat bahwa Maridjan bekerja dalam alam kearifan lokal yang meta-sains dan alam pikir makrokosmos (jagat-gedhe) yang khas Jawa. Ia bukan pakar di bidang kegunungapian, tetapi tampaknya lebih banyak bekerja berdasarkan intuisi dan nalar. Keterangan-keterangan Maridjan pada tahun 2006 atas fenomena alam Merapi demikian sederhana, dengan bumbu-bumbu perumpamaan yang gampang ditelaah orang.

Ia juga mengedepankan suatu etika yang khas, yang harus dihayati menyangkut hubungan antara manusia, gunung berapi, dan Tuhan. Ia sering mengatakan, ojo ndhisiki kerso, jangan mendahului kehendak-Nya. Ini menunjukkan bahwa Maridjan punya disiplin religius tersendiri, dengan berdoa, ikhtiar, dan pasrah.

Ketiga, ia pemimpin yang bertanggung jawab dan berani ambil risiko. Tampaknya, tak ada pretensi agar Maridjan sendiri dicap sebagai teladan. Akan tetapi, ia sering menunjukkan kepada publik bahwa ia punya tanggung jawab, dan atas dasar itu ia berani ambil risiko.
Karena itulah, perilakunya sering cukup kontroversial. Dengan alasan berdoa kepada-Nya, ia justru naik ke puncak, kawasan yang paling berbahaya pada 2006. Dengan alasan yang sama pula, ia tak mau meninggalkan desanya saat sebelum akhirnya ia diberitakan meninggal.

Ia tak menolak pengungsian warga, tetapi ia sendiri tak mau mengungsi. Memang kontradiktif. Karena itu, wajar apabila penilaian publik terbelah ke dalam dua pendapat berseberangan: ia berani ambil risiko atau ia sesungguhnya sosok yang fatalis.

Dua ekstrem
Masih banyak hal yang bisa diulas dari gaya kepemimpinan Maridjan, tetapi tiga hal di atas sudah mencukupi, sebagai wasiat-wasiat yang dapat dicatat dari sosok bintang iklan minuman energi itu.

Setelah Maridjan meninggal, saya sependapat dengan anjuran agar kita lebih serius beralih dari paradigma intuisi ke sains modern. Akan tetapi, saya juga sepakat bahwa sains modern pun dikembangkan tanpa harus mengabaikan kearifan lokal.

Dari sini, seolah-olah memang antara Maridjan dan sains modern adalah dua ekstrem walaupun penjelasannya sering kali selaras dengan argumentasi sains. Intinya, sains dan kearifan lokal harus berdampingan, sedemikian rupa demi kemaslahatan semua.

* M ALFAN ALFIAN, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta; Penulis Buku Menjadi Pemimpin Politik

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More